Agama Damai di Masa Depan

Agama yang Damai di Masa Depan

Agama sebagai suatu kata yang dapat berarti pedoman seseorang untuk berperilaku, terutama dengan hubungannya kepada Tuhan sebagai pemilik semesta. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama berasal dari kata sansekerta yaitu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Agama disebut juga religi yang berasal dari bahasa latin, religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Artinya adalah seseorang mengikatkan dirinya kepada Tuhan.

Dalam hindu sendiri disebutkan bahwa ajaran hindu sebagai suatu Sanatana Dharma yang mengandung arti kebenaran yang abadi. Hal ini mengatakan secara jelas bahwa sampai kapan pun dharma akan menjadi suatu kebenaran entah apa pun itu keadaan jamannya. Abadi juga berarti bahwa tidak akan pernah dharma itu hilang sampai kapan pun dunia ini ada. Namun sebagaimana kita lihat pada saat ini, apakah jaman modern ini mampu dilingkupi oleh agama? Atau modernitas yang melingkupi agama itu sendiri? Agama itu sendiri sebenarnya telah diterjemahkan oleh beberapa teori dari beberapa ahli. Teori-teori itu bisa menjadi titik awal bagaimana agama itu bisa dimengerti secara ilmu.

  1. Teori-teori tentang Agama.

E.B. Tylor (1832-1917) menyebutkan bahwa agama berarti adalah “keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual”. Hal ini dikatakan sebagai suatu yang mirip dimiliki oleh seluruh agama, yaitu adanya keyakinan terhadap roh-roh berpikir, berprilaku, dan berperasaan seperti manusia. Esensi dari setiap agama adalah animisme (anima) yang berarti roh. Jadi pertanyaan oleh Tylor untuk menjelaskan agama yang pertama adalah “Bagaimana dan kenapa awal mulanya manusia mulai mempercayai keberadaan sesuatu sebagai sebuah roh?” Pernyataan ini diterjemahkan oleh E.B. Tylor dengan menyebutkan “filosof liar” pada saat jaman primitif yang bisa mengklasifikasikan manusia itu hidup atau mati, serta memiliki jiwa dan roh sebagai bayang-bayang jiwa sehingga berhasil mendapatkan konsep tentang Jiwa yang Memiliki Pribadi. Itu berkembang menjadi bentuk yang lebih besar di luar tubuh, seperti dewa-dewa yang ada di sekeliling manusia tersebut. Akhir dari Tylor menyimpulkan bahwa takdir agama sebenarnya adalah sekedar memperlambat kemajuan pemikiran manusia yang masih saja memegang teguh agama dari keuntungan mereka (hal 49; Daniel;2011).

J.G. Frazer (1854-1941)memberikan pemahaman tentang agama berhubungan dengan istilah magis dari jaman primitif. Di mana pada saat itu, yang memiliki predikat penguasa magis adalah dukun, tabib, atau tukang sihir yang dianggap mendapatkan kekuatan sosial dan bahkan menjadi penguasa karena kekuatannya tersebut. Magis adalah suatu kekuatan yang pada saat itu dapat menguasai alam. Seperti halnya mampu menurunkan hujan atau mendapatkan cahaya pada saat petani membutuhkan. Magis disebutkan sebagai sesuatu pengetahuan yang salah dan pada akhirnya digantikan oleh agama saat kemundurannya (magis) walaupun memiliki kemiripan tersendiri. Jadi antara E.B. Tylor dan Frazer menyebutkan asal usul agama dari pra sejarah serta evolusinya dalam perkembangannya sebagai penyelesaian masalah pada waktu itu. Dan E.B. Tylor serta Frazer tidak mencantumkan permasalahan agama yang turun dengan cara wahyu, namun kesimpulan yang terpenting adalah agama memang merupakan suatu evolusi pemikiran dari manusia yang pada akhirnya mengalami kemunduran akibat kedatangan suatu ilmu pengetahuan dan perannya akan tergantikan.

Sigmund Freud (1856-1939) merupakan ahli psikologi yang memberikan pemahaman akan psikoanalisa serta alam bawah sadar. Ketertarikannya akan pikiran manusia serta bagaimana hal tersebut bekerja membawanya pula pada pemahaman yang menyentuh bidang-bidang lainnya sebagaimana pula bidang agama. Dalam pemahaman alam bawah sadar menyebutkan bahwa kumpulan emosi dan angan-angan serta dorongan biologis paling dasar masuk dari alam sadar dan menjadi suatu gunung es. Masuknya emosi-emosi tersebut bisa terjadi dengan dua cara, yaitu masuk secara diam-diam sebagai transkrip masa lalu, serta masuk dengan cara dipaksa akibat sesuatu kejadian yang kompleks. Untuk yang kedua itulah yang mengakibatkan ketertekanan yang bisa mengakibatkan pengaruh penyakit syaraf (neurosis) dan dapat disembuhkan oleh psikoanalisa. Ia menyebutkan manusia terdiri dari Id yang merupakan insting hewaniyah (makan, membunuh, seksualitas), super ego (kepribadian yang dimasukkan dari luar seperti keluarga, harapan masyarakat, negara) serta ego (sebagai penyeimbang keduanya). Pemahaman agama dari Freud berasal dari istilah Oedious Kompleks yang berasal dari cerita seorang raja yang baik dan bijaksana namun membunuh ayahnya serta menikahi ibunya sendiri. Karena menyesalnya ia membunuh ayahnya, akhirnya ia mencari cara bagaimana membunuh rasa sesalnya dengan memuja ayahnya tersebut. Hal ini berhubungan dengan pemujaan totemisme dimana binatang totem dianggap sebagai ayah mereka yang telah mati dan menahan hasrat seksual mereka, seperti pula ketabuan dalam menikahi seorang ibu sendiri (totem and taboo 1913). Agama disebutkan oleh Freud sebagai sebuah yang lahir dari emosi-emosi serta konflik-konflik yang lahir dan semenjak kanak-kanak dan terletak jauh di bawah kesadaran rasional, permukaan sadar dalam kepribadian dan dipandang sebagai gangguan neurotis.

Lain halnya dengan pandangan Emile Durkheim(1815-1917) yang menjelaskan tentang kesakralan masyarakat, di mana agama dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, dan bahkan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Terdapat dua bagian dari suatu masyarakat, yaitu “Yang Sakral” serta “Yang Profan”. Hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dan dalam kondisi normal ia tidak tersentuh dan selalu dihormati. Sebaliknya pula yang profan berarti sesuatu yang biasa-biasa dan menjadi keseharian masyarakat. Seperti pada totem-totem yang memiliki kesakralan, di mana binatang selain yang ditotemkan bersifat biasa dan dapat dibunuh atau dimakan yang berbeda dengan binatang “sakral” pada totem tersebut. Durkheim berpendapat sebelum masyarakat mendapatkan keyakinan terhadap tuhan, terdapat sesuatu yang impersonal maha kuasa (prinsip-prinsip totem) yang menjadi fokus utama dalam keyakinan tersebut. Dari Durkheim dapat disimpulkan agama adalah bagian yang paling berharga dalam kehidupan sosial. Dia menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang menuntun seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai suatu masyarakat yang eksis, maka segala ide-ide, ritual-ritual upacara akan selalu ada, hal tersebutlah yang menyebabkan agama tetap ada.

Karl Marx (1818-1883) berpandangan agama itu adalah sebagai bentuk alienasi. Marx memunculkan dua titik tolak pemikiran, yaitu bahwa ekonomi sebagai hal yang mempengaruhi perilaku manusia serta yang kedua adalah dalam sejarahnya manusia memiliki konflik pertentangan kelas yang terjadi secara terus-menerus antara yang memiliki barang dan yang harus bekerja membanting tulang agar tetap bertahan hidup. Seperti pula bahwa kebutuhan hidup manusia adalah sandang, papan, dan pangan yang setelah mampu didapatkan akan menuju keinginan lainnya, seperti seks misalnya. Manusia membutuhkan hal dasar tersebut terlebih dahulu, hal itu dilakukan dengan kegiatan ekonomi yang notebene di satu sisi dimiliki oleh pihak pemegang kapital (modal). Pada masa modern yang mengarah pada industrialisme, para pekerja (proletar) mau tidak mau bekerja pada pemilik modal industrial. Itu pun semakin membuat pertentangan kelas antara proletar serta kapital. Dan hanya dengan jalan revolusi atau kekerasan nekad menghancurkan sistem ekonomi yang ada serta membentuk pemerintahan proletar yang membawa pada perubahan kedamaian serta kebebasan yang tidak terdapat pertentangan kelas. Alienasi menurut Marx adalah suatu keterasingan dari manusia itu sendiri, hal tersebut terjadi karena perbuatan manusia itulah yang menyebabkan terjadinya alienasi. Dan tentu saja alienasi ada yang “dilekatkan” secara sengaja kepada manusia termasuk ide-idenya sendiri padahal manusia adalah yang pemilik sebenarnya. Itulah alienasi yang paling riil dan menjadi penyebab kesengsaraan manusia. Namun kritik mengatakan bahwa pemahaman Marx terhadap agama sebagai candu masyarakat dan tempat pelarian masyarakat miskin dari kesengsaraan dan penindasan, sebenarnya dalam benaknya adalah menjelaskan tentang agama kristen. Hal itu akan berbeda jika menjelaskan kebahagiaan hidup setelah mati dan reinkarnasi agama hindu atau kesabaran hidup dalam agama buddha.

Mircea Elliade (1907-1986) yang juga memiliki pengalaman mempelajari yoga di wilayah india selama beberapa waktu, mempergunakan istilah Yang sakral dan Yang Profan seperti yang dipergunakan Durkheim, namun istilah ini lebih mengarah kepada spritualitas atau supernatural dibandingkan mengarah kepada sosial. Yang sakral oleh Elliade digambarkan sebagai suatu perjumpaan dengan sesuatu yang menyentuh satu realitas yang belum pernah dikenal sebelumnya, sesuatu yang nir-duniawi sebagai sebuah dimensi yang maha kuat, sangat berbeda dan merupakan realitas abadi yang tiada tandingannya. Hal ini terdapat pada semua agama, baik pada agama arkhais atau pula pada yahudi dan kristen yang mendasarkan dirinya pada nabi-nabi serta wahyu-wahyu yang ada. Disebutkan bahwa pada akhirnya mereka (yahudi,kristen) menginginkan suatu turunnya manusia tuhan (mesias) yang memberikan suatu dunia dambaan pada akhirnya. Hal tersebut sejalan kembali sesuai pemikiran arkhais yang menerima sejarah sebagaimana itu ada dan akhirnya akan hancur kembali menuju dunia yang sempurna.

Dari beberapa pemikiran di atas yang paling mencengangkan adalah Frederich Nietzsche bahwa “Tuhan telah mati”. Hal ini tidak diartikan secara harfiah, namun merupakan gagasan dari Nietzsche yang menyatakan bahwa Tuhan tidak lagi mampu berperan sebagai sumber moral atau teologi. Gagasan ini pada akhirnya akan membawa kepada Nihilisme di mana terjadi suatu ketidakpengakuan lagi pada tatanan kosmis termasuk pula penolakan keyakinan akan suatu hukum moral yang objektif dan universal, yang mengarah pada evaluasi kembali dasar-dasar dari nilai manusia.

Ini adalah beberapa pemahaman tentang agama itu sendiri, di samping pula beberapa teori lainnya dari beberapa ahli lain. Asal-usul dari agama tersebut paling tidak bisa menggambarkan bagaimana agama itu terbentuk serta bagaimana bentuk agama ke depannya.

2. Era modernitas tempat agama saat ini.

Pada era modernitas ini, maka agama yang ada akan berpacu pada suatu kondisi keduniaan itu sendiri. Era modern terbentuk dari suatu era industrial yang mengarah pada berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai suatu pengambil keputusan serta alat untuk mengenal dunia itu sendiri via penelitian empiris. Ini yang membedakan modern dari era pra modern yang menyatakan bahwa sesuatu pengetahuan didapat dari alasan (reason) dan pengetahuan bawaan (innate knowledge). Pra modern juga berarti pemahaman yang didapat dengan kepercayaan mitos serta keyakinan akan sesuatu yang lebih “tinggi”.

Era modernitas juga berarti sesuatunya tidak terlepas dari science dan teknologi, media massa yang berperan cukup tinggi, gerakan sosial yang berkembang, demokrasi, individualitas, industrisasi, dan urbanisasi. Modernitas juga sangat berhubungan dengan berkembangnya paham kapitalisme yang sangat erat dengan revolusi industri. Kemunculan ekonomi yang berarti sebagai ilmu untuk memuaskan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, juga sebagai salah satu yang muncul di era modern.

Hal tersebut memunculkan pertanyaan, apa yang dicari manusia pada saat ini? Apakah manusia menjadi objek yang mengikuti perkembangan jaman modern tersebut? Menjadi manusia yang harus tetap setia dalam memunculkan kehidupan sesuai dengan teknologi yang ada? Bagaimanakah menjadi manusia yang sejahtera? Secara ekonomi kah atau kebahagiaan batin atau apa? Lalu agama berada di posisi mana dalam hal ini, seperti juga disebutkan agama sebagai produk dari era pra modern dengan berbagai mitos serta keyakinannya.

Era modern serta segala yang menjadikan seluruh dunia saat ini, di samping pula ilmu pengetahuan, sebenarnya telah sangat banyak memberikan kenikmatan serta kebahagiaan dan kesejahteraan yang memberikan bantuan manusia untuk kehidupan. Peradaban yang selalu berkembang serta informasi yang sangat bebas beredar, memberikan banyak sisi positif di samping pula sisi negatif dari kehidupan era modern tersebut. Seperti pula yang dikritik oleh para ahli di atas Karl Marx contohnya yang mengangkat sisi pertentangan kelas yang juga penuh konflik. Di sisi lain Tuhan sepertinya telah kehilangan daya atau pengaruhnya untuk membentuk moralitas serta kemanusiaan sehingga Nietzsche menceritakan tentang kematian Tuhan itu sendiri. Seperti pula munculnya paham hedonistis yang mirip dengan Carwaka di mana kepuasan pribadi adalah hal yang paling utama. Hal itu memberikan suatu sikap individualitas dan mengurangi keinginan untuk menanamkan sikap yang peduli pada sekitarnya.

Ilmu pengetahuan pun selalu berkembang dengan peran filsafat ilmu bagian aksiologi untuk menjawab bahwa ilmu yang baik berisikan suatu etika dan moralitas. Ini yang bisa menjawab bagaimana suatu pengetahuan pada nantinya akan menjadi suatu ilmu yang memiliki tanggung jawab moralitas serta tanggung jawab etika kepada sosial serta dunia itu sendiri. Agama dalam hal ini sebagai sesuatu yang memberikan pemahaman etika serta moralitas menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan, sebagaimana Durkheim juga berkata bahwa agama menjadi identitas suatu masyarakat dan dengan mengetahui identitas tersebut suatu permasalahan dapat diselesaikan jika terjadi gesekan di masyarakat tersebut. Eksisnya suatu masyarakat adalah berasal dari agamanya yang terbentuk dari ide, filsafat, serta ritual yang ada. Agama sebagai sesuatu yang membentuk psikologi seseorang, dikatakan sebagai suatu kesakitan oleh Freud sendiri. Namun ia pun tidak bisa menjawab kenapa orang masih beragama dan bersifat kolektif. Tylor pada kesimpulannya, agama dikatakan akan mengalami kemunduran akibat kemajuan ilmu pengetahuan. Tetapi ilmu pengetahuan pun pada akhirnya dibatasi oleh segi kemanusiaan, moralitas, serta etika yang notabene berasal dari sumsum agama itu sendiri.

Terlepas dari beberapa hal di atas, dunia sekarang pun masih memiliki titik-titik sejarah kelam dari agama itu sendiri. Di mana agama dalam penyebarannya atau pun dari suatu pembelaannya memiliki sifat keras tersendiri dengan darah atau pun kehancuran suatu peradaban. Seperti pula terorisme, pembunuhan etnis, brainwash, perang tanpa akhir di suatu wilayah, penghancuran tempat suci, atau mungkin konflik kecil antar umat beragama sendiri. Apakah agama yang salah dalam hal ini? Ataukah pemahaman dan penafsirannya? Seperti juga John Lennon menyanyikan sebuah lagu “Imagine” di mana dikatakan “bagaimana dunia tanpa agama, tidak ada yang terbunuh dan mati karenanya”. Namun di akhir ia berkata, yang diinginkan adalah “peace” yaitu suatu kedamaian. Jadi agama yang bagaimana diperlukan di masa depan?

3. Agama yang Damai, Agama yang Pluralis.

Sebelum beranjak pada agama di masa depan, maka semua sepakat bahwa kata damai menjadi suatu yang didambakan oleh siapa pun. Konflik memang pasti terjadi karena manusia memiliki kepala sendiri-sendiri, namun jika itu terjadi pasti ada langkah bijaksana untuk menjadikan sesuatu lebih punya nilai yang baik. Jaman ini masih terjadi suatu agama memberikan pemahaman dengan jalan kekerasan serta mengambil ayat-ayat secara setengah-setengah, serta menganggap kebenaran itu ada padanya sendiri.

Ilmu pengetahuan memiliki peran tersendiri di sini untuk memberikan suatu pandangan yang berbeda terhadap konflik-konflik berdasarkan agama. Humanisme menjadi suatu kaca mata sendiri terhadap kekerasan tersebut. Ilmu pengetahuan hendaknya menjadi hal yang tidak dianggap sebagai penghambat agama, baiknya dianggap sebagai hal yang memajukan manusia itu sendiri. Karena ada beberapa penganut (bukan agamanya) yang alergi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan ini. Tetapi masih menggunakan hasil pengetahuan itu.

Kedamaian hanya bisa hadir jika paham keeklusifan suatu agama bisa ditiadakan dengan memberikan suatu pemberian kebebasan atas keyakinan lain itu ada. Manusia itu lahir dengan perbedaan, bukan suatu kesamaan dari kelahirannya. Seperti juga pelangi yang berwarna-warni dan bukan pelangi jika hanya berwarna hitam atau biru saja. Kedamaian itu hadir dengan menelaah kembali ayat-ayat pada kitab suci masing-masing dan dipergunakan sebagaimana mestinya. Seperti misalkan ada ayat tentang “memotong kepala umat lain”, apakah ditafsirkan dengan memotong kepalanya? Mungkin saja bisa ditafsirkan dengan memotong ego sebagai isi kepala darinya.

Dalam Hindu sendiri, dikatakan memiliki kitab sruti dan kitab smerti. Kitab sruti adalah kebenaran sejati, di mana smreti dimaksudkan untuk berubah dan diaplikasikan seperti kasus hukum dengan perhatian besar terhadap setiap konteks untuk menetapkan aplikabilitas serta adaptasi yang diminta (hal 157, Morales,2006). Jadi disesuaikan dengan jaman serta kebutuhan yang ada. Dharma yang abadi (Sanatana Dharma) dari Hindu tersendiri, merupakan suatu yang memang menjadi tuntunan dan kewajiban bagi dunia sampai akhir jaman atau abadi.

Agama masa depan adalah agama yang memandang pluralitas sebagai sesuatu takdir, keharusan atau sesuatu yang dimaklumi. Agama yang mampu memberikan rumah bagi yang tertekan pada suatu kehidupan ini. Agama sebagai tempat pulang dari umat-umat yang memeluknya. Karena agama sebagai wilayah rumah Tuhan yang diyakini merupakan akhir dari perjalanan manusia, memberikan suatu kedamaian batiniah dari sisi negatif keinginan tidak terbatas manusia.

Kedamaian secara realita akan dicapai dengan memberikan pluralitas itu sebagai junjungan dalam beragama, sehingga paling tidak kekerasan dari suatu agama bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan. Jika kekerasan telah lenyap, maka suatu kesejahteraan akan lebih bisa terfokuskan. Katakanlah idealisme dari Marx tentang agama sebagai candu masyarakat dan masyarakat tanpa kelas, akan lenyap dengan kesejahteraan yang merata. Agama yang damai serta plural adalah jawaban bagi agama yang bermakna di masa depan. Seperti pula Hindu di Bali mengucapkan salam terakhir “Om santi, santi, santi, Om”.

Daftar Pustaka

Daniel L.Pals. 2011. Seven Theories of Religion. Penerbit IRCiSoD Jogjakarta cetakan pertama.

2 tanggapan untuk “Agama Damai di Masa Depan

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.