
Catur Asrama Ngaranya, Brahmacari Grehasta Wanaprasta Sanyasa ika, Dharmaning laku gawe hayu iya sang dharmika, kunang sahadja raharja rahayu wwang nika, tan hana duka lara rogha sangsaya, sweca Ida Hyang Bhatara Bhatari tedun maphala becik ring wwang ika. (G.Ling)
Semoga semua dalam kebahagiaan semesta. Manusia lahir tentunya memiliki berbagai ranah tersendiri dalam kehidupan. Kelahiran manusia bukanlah sesuatu yang dimengerti atau dipahami oleh mereka yang lahir. Ada berbagai kondisi atau aturan tertentu yang memberikan arah pegangan manusia tersebut dalam menjalani kehidupannya.
Dalam psikologi perkembangan kehidupan manusia, terutama dalam ruang dharma. Maka telah disebutkan bahwa kehidupan terbaik dalam tahapan hidup manusia adalah Catur Asrama. Catur Asrama ini terdiri dari tahapan Brahmacari, yaitu tahapan pembelajaran hidup yaitu masa muda. Kemudian ada Grehasta tahapan berkeluarga agar kelak siap memberikan keturunan yang suputra termasuk untuk tahapan penghidupan diri serta keluarga. Selanjutnya adalah wanaprasta yaitu tahapan menarik diri dari kehidupan duniawi serta kesempatan untuk memahami Dharma lebih dalam. Yang terakhir adalah Bhiksuka Sanyasin yaitu tahapan lepas dari keduniawian dan bersiap untuk menyambut Sang Kematian menuju ruang “hidup” selanjutnya.
Tahapan itu secara disadari atau tidak, telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Masa muda, masa berkeluarga, masa ketika anak-anak telah dewasa, dan masa tua kita. Sejatinya adalah tahapan itu telah menjadi standar terbaik di kehidupan ini. Tahapan kehidupan dalam ruang Dharma yang diberkati oleh semesta raya.
Hal ini juga sesuai dengan perkembangan psikologi manusia pada umumnya. Walaupun dalam kehidupan terjadi berbagai variasi-variasi tertentu, namun perkembangan kehidupan ini masih menjadi standar yang signifikan untuk seluruh manusia. Tentunya pedoman-pedoman tertentu untuk itu telah banyak diketahui, namun alangkah baiknya ketika memberi ruang untuk menyimak bagaimana Sastra Hindu Nusantara menceritakan tentang perkembangan kepribadian dari tahapan kehidupan ini.
Salah satu dari sastra itu adalah sloka-sloka yang berada pada Sarasamuscaya sebagai bagian dari kitab suci yang mengajarkan tentang kesusilaan hidup. Kesusilaan adalah pedoman prilaku dalam kehidupan manusia yang secara universal betul adanya, untuk mencapai arah-arah yang baik dan bijaksana. Sebagai bagian dari tiga kerangka Hindu Dharma, tentunya sangat baik untuk diberikan pemahaman mendalam tentang kebaikan Dharma untuk diri dan untuk kedamaian semesta raya.
Secara ringkas perkembangan dari Catur Asrama dapat terlihat pada Sarasamuscaya sloka 251 :
“Nyang kengentakena, wuwuhning carira, nangbala, yowana, wrddha, yatika patutakena lawan pirakanya, masnya, sakarya siddhakenanya kunang, ika ta anung asambhawa atuta lawan janmanya ata ya, patutnika ya patutakena lawan dening ahyas, dening anandang dening, angucapa, mwang dening amawambek, patut ika kabeh, yatika laksananing atengo ngaranya “
Artinya : Inilah yang patut diperhatikan : pertumbuhan jasmani yaitu masa anak-anak, masa muda, dan masa tua; itulah harus disesuaikan dengan prilaku yang selayaknya; setelah selaras, hendaklah disesuaikan dengan harta kekayaannya (peraknya, emasnya ) ; begitupun dengan semua pekerjaan yang diselesaikannya ; itulah yang sangat sulit menyesuaikan dengan kelahirannya; jika telah ada penyesuaiannya, hal itu hendaknya diselaraskan dengannya berhias berpakaian, dengan caranya berkata-kata dan dengan caranya melakukan kemauan pikirannya atau pun bakatnya; jika telah sesuai dengan itu semua, merupakan laksana orang yang sadar.
BRAHMACARI
1.Brahmacari adalah tahap pembelajaran hidup dari kecil sampai beranjak dewasa. Dalam hal ini merupakan kehidupan belajar di rumah, di sekolah serta cara bergaul yang benar dalam kehidupan.Sebagaimana juga hidup dalam mencari ilmu pengetahuan adalah yang utama. Termasuk menghormati para catur guru kehidupan. Dalam Sarasamuscaya dapat disimak sebagai berikut :
***Sarasamuscaya 31***
“Matangnyan pengpongan wenangta, mangken rare ta pwa kitan lekasakena agawe dharmasadhana : apan anitya iking hurip, syapa kari wruha ti tekaning pati, syapa manhwruhana ri tekaning patinya wih.“
Artinya :Karena itu pergunakanlah sebaik-baiknya kemampuan yang ada sekarang selagi anda masih muda ; hendaklah anda lekas-lekas melakukan kegiatan yang berlandaskan dharma, sebab hidup ini tidak tetap, siapa gerangan akan tahu tentang datangny maut ; siapa pula akan memberitahukan datangnya maut itu.
Seorang tidak tahu kapan kehidupan itu akan berakhir, namun sejatinya dalam masa muda, baiknya selalu melakukan berbagai hal yang baik dan bijak dalam dharma.
***Sarasamuscaya 35***
“Nghing Dharma keta saksat hayu, saksat wibhawa ngaranya, nghing lebaning manah, kelanta ring panas tis, keta prasiddha tamba prayaccita, pemadem lara ngaranya, nghing samyagjna tuturta, ajinta, wruh ta ring tattwa, paramartha inakambek ngaranya, nghing ahimsa si tanpamatimati, si tan hana kakrodha, byaktaning sukha ngaranya”
Artinya : Hanya dharma dikatakan merupakan kebenaran dan kewibawaan, hanya ketentraman perasaan hati merupakan ketahanan terhadap panas dan dingin, yang dapat dijadikan obat pelebur dosa dan pemusnahan kedukaan hati, sesungguhnya kesadaran atas kebenaran patut dicamkan, (memiliki) ilmu pengetahuan dan keyakinan anda akan keadaan yang hakiki itu merupakan tujuan utama yang membahagiakan, ahimsa tidak menyakiti (membunuh) dan tidak kerasukan amarah, itulah kebahagiaan yang nyata namanya.
Begitulah bahwa masa muda yang mengejar ilmu pengetahuan serta melaksanakan dharma, dapat menjadi pedoman hidup untuk menghlangkan kedukaan hati, serta melebur dosa kita. Ini kebahagiaan yang nyata kalau dapat disebutkan.
***Sarasamuscaya 234***
“Hana pwa drohaka ring pangajyanya, ring bapebu kunang, makaranang kaya, wak, manah, ikang mangkana kramanya, agong papanika, lwih sakeng papaning bhrunaha, bhrunaha ngaraning rurugarbha, sangksepanya atyanta papanika“
Artinya : Jika ada seseorang yang berkhianat terhadap guru (pengajian), terhadap ibu dan bapa, dengan jalan perbuatan, perkataan dan pikiran, orang yang demikian perilakunya amatlah besar dosanya, diibaratkan lebih besar dari dosa bhrunaha (menggugurkan kandungan), singkatnya amatlah bersalah dirinya.
Yang utama selain dari mencari ilmu pengetahuan, seorang brahmacari hendaknya selalu menjaga pikiran, perkataan dan perilakunya agar tetap hormat kepada guru rupaka (orangtua), guru pengajian( guru di sekolah). Dan itu merupakan prilaku utama dari seorang brahmacari, sehingga terhindar dari karma yang buruk kelak dalam kehidupan atau setelah kematian nanti.
***Sarasamuscaya 162***
“Prawrtti rahayu kta sadhananing ramaksang dharma,yapwan sang hyang aji, jnana pageh ekatana sadhana ri karaksanira, kunang ikang rupa,si radin pangraksa irika, yapyan kesujanman, kasucilan sadhaning rumaksa ika.”
Artinya : Tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga dharma, akan sastra suci (ilmu pengetahuan), pikiran yang tetap teguh dan bulat merupakan upaya untuk menjunjungnya, ada pun keindahan paras adalah kebersihan untuk pemeliharaan itu, mengenai kelahiran mulia, budi pekerti dan susila yang menegakkannya.
Dalam waktu brahmacari atau mencari ilmu, tingkah laku yang susila serta tekun dalam mempeljari pengetahuan adalah kewajiban untuk menjaga dharma. Menjaga kebersihan diri untuk merawat tubuh adalah baik juga untuk memelihara berkatNya. Sekaligus juga menjaga budi pekerti untuk tetap luhur sebagai kelahiran yang utama.
Sloka lain tentang penghormatan kepada orang tua juga banyak terdapat dalam Sarasamuscaya, seperti sloka berikut :
***Sarasamuscaya 241***
“Ikang bhakti makawwitan, paritusta sang rawwitnya denya, phalanya mangke dlaha, langgeng paleman ika ring hayu”
Artinya :Setia bakti terhadap orang tua, membuat orang tua itu sangat senang dan puas, pahalanya baik sekarang ini, maupun kemudian, tetap mendapat pujian tentang kebajikan.
Dan yang lain adalah tentang menjaga pergaulan agar tetap pada jalan kebajikan atau kebenaran. Pada Sarasamuscaya terdapat pada sloka berikut :
***Sarasamuscaya 305 – Sarasamuscaya 301***
“Kunang ulaha, yang pasahaya kita, sang sadhu juga sahayanta, yan ta gawaya pakadangan, sang sadhu juga kadanganta yadyapin patukara tuwi, nguwineh yan samitra lawan sadhu juga, apan pisaningun hana kayogyaning tan sadhu”
“Matangyan mandeh ikang buddhi, yang pasangsarga ngwang lawan wwang sor dinabuddhi, yapwan wwang madhyama sang sarganing wwang, madhyama ikang buddhi denya, wwang uttama pwa sang sinangsarga, uttama buddhining wwang yan mangkana”
Artinya : Jika anda berkawan, maka hendaklah orang yang berbudi luhur saja yang menjadi kawan anda; jika hendak mencari persaudaraan orang yang berbudi luhur itu yang anda usahakan untuk dijadikan persaudaraan; andaikata sampai berbantah sekalipun; apalagi jika bersahabat; hendaklah dengan irang yang baik budi itu; sebab mustahil tidak akan tidak kelimpahan budi luhur itu.
Oleh karena itu merosotlah budi seseorang; jika bergaul dengan orang yang hina budi, jika orang yang madya-budi menjadi sahabatnya, maka madya budi yang dihasilkannya, jika orang yang utama budi dijadikan teman bergaul, maka utama budi orang itu karenanya.
Brahmacari adalah sang pembelajar yang memiliki swadarma atau kewajiban tertentu dalam kehidupan. Hal itu sudah dituangkan ke dalam sloka-sloka Sarasamuscaya serta kitab suci lainnya, yang beraroma kesusilaan. Ini menjadi bagian prilaku utama, serta idealnya dari seorang brahmacari. Karena itu memberikan cermin bahwa seorang brahmacari berkepribadian yang terbaik dalam ruang Dharma.
GREHASTA
2. Grehasta adalah masa membentuk dan membangun keluarga, sebagai masa dewasa yang penuh tanggung jawab, berkewajiban pula dalam meningkatkan perekonomian, mencari ruang kesejahteraan juga kemakmuran. Keluarga dengan anggota suami – istri serta anak-anak, merupakan simbolisme purusha pradana yang bertujuan untuk mendapatkan keturunan dan melanggengkan generasi. Pada sloka-sloka Sarasamuscaya terdapat berbagai idealisme dari selayaknya tahapan grehasta dalam kehidupan. Sloka-sloka itu antara lain :
***Sarasamuscaya 242***
“Tlu pratyekaning bapa, tingkahnya carirakrt pranadata, annadata carirakrt ngaraning sangkaning carira, pranadata ngaraning mapunya hurip, annadata ngaraning maweh amangan angingwani wih”
Artinya : tiga perincian bapa itu menurut perikeadaannya yaitu carirakrt, pranadata, annadata, carirakrt artinya yang mengadakan tubuh, pranadata artinya memberikan hidup, annadata artinya memberi makan serta mengasuhnya.
*** Sarasamuscaya 243-244***
“Ikang anak ngaranya, matratrptining bapa ginawenya, kunang ikang bapa, sakwehning sukhaning anak ginawenya, apan tan hana tinenget bapa, cariranira towi, winehakenira ta ya.”
“Mangkanang ib, arata jugasihnira manak ya, apan wenang tan wenang, saguna, nirguna, darindra, sugih, ikang anak,kapwa rinaksanira, inangunira ika, tan hana ta pwa kadi sira, ring masiha mangingwana”
Artinya : Yang disebut anak, patutnya membuat si bapa agar puas hatinya, sedangkan bapa, sebanyak-banyaknya kesenangan si anak dikerjakan olehnya, sebab tidak ada yang dikikirkan si bapa, badannya sekalipun akan direlakannya.
Artinya :Demikian si ibu, rata benar-benar cinta kasihnya kepada anaknya, sebab baik cakap atau pun tidak cakap, berkebajikan atau tidak berkebajikan, miskin atau kaya anak-anaknya itu semua dijaga baik-baik olehnya, dan diasuhnya mereka itu, tidak ada yang melebihi kecintaan beliau dalam hal mengasihi dan mengasuh anak-anaknya.
Hal yang terutama pada saat Grehasta Asrama adalah untuk mencari penghidupan dalam keluarga, seperti juga mengetahui tentang Catur Purusa Artha Dharma, Artha, Kama, Moksah. Dalam Sarasamuscaya terdapat pada sloka ini.
***Sarasamuscaya 261-262***
“Lawan tekapaning mangarjana, makapagwanang dharma ta ya, ikang dana antukning mangarjana, yatika, patelun, sadhana ring telu, kayatnakena”
“Nihan kramanyan pinatelu, ikang sabhaga, sadhana ri kasiddha ning dharma, ikang kaping rwaning bhaga, sadhana ri kasiddhaning kama ika ikang kaping tiga, sadhana ri kasiddhaning artha ika, wrrhdyakena muwah, mangkana kramanyan pinatiga, denika sang mahyun manggikahenang hayu “
Artinya : Dan caranya memperoleh sesuatu, hendaklah berdasarkan dharma, dana yang diperoleh karena usaha, hendaklah dibagi tiga, guna pelaksanaan (biaya) mencapai yang tiga itu. Perhatikanlah baik-baik. Demikianlah duduknya dibagai tiga, yang satu bagian, guna biaya mencapai dharma, yang kedua adalah biaya memenuhi kama, bagian yang ketiga diuntukkan bagi melakukan kegiatan usaha dalam bidang artha, ekonomi agar berkembang kembali demikian duduknya, maka dibagi tiga oleh orang yang ingin beroleh kebahagiaan.
***Sarasamuscaya 275***
“Nihan lwirnikang wwang sukha mangke, sukha dlaha, hana ya mangabhyasa dharmasadhana, ri telasnyan paripurna kadamelaning dharmasadhana denya, mangarjana ta ya artha, dharmatah denyangarjana, mastri pwa ya, mamukti wijaya, dharma ta denya, muwah mayajna ta ya, dewayajna, pitryajnadi, ikang wwang mangkana, yatika sukha mangke, sukha dlaha ngaranya.”
Artinya : berikut adalah orang yang memperoleh suka sekarang dan suka kemudian; orang itu mengusahakan laksana dharma, sesudahnya sempurna terlaksanakan usaha dharma itu, maka berikhtiarlah ia memperoleh harta kekayaan, dengan dharma pula ia berusaha, (memperoleh harta ), lalu ia beristri (berkeluarga), mengenyam kenikmatan duniawi, dharma pula pilihannya, dan kemudian ia mengadakan upacara kebaktian dan pujaan ; dewa yadnya, pitra yadnya; orang yang demikian perilakunya, menikmati, suka sekarang dan suka kemudian.
Jadi dalam Sarasamuscaya dapat dijelaskan untuk Grehasta Asrama beberapa prilaku dan kewajiban dalam berumahtangga adalah memperoleh harta, kemudian mendapatkan keturunan, serta melakukan pencarian artha atas dasar dharma.Mengasuh anak dengan kasih- sayang,serta boleh mengenyam kenikmatan duniawi (Kama), juga melaksanakan yadnya yang ada, seperti dewa yadnya atau pitra yadnya.
WANAPRASTA
Wanaprasta adalah tahapan kehidupan di mana seorang manusia, sudah mulai belajar melepas segala ikatan keduniawian atau bisa disebutkan sebagai masa pensiun. Ikatan keduniawian yang membelenggu dan bersiap-siap untuk menapaki masa menyambut sang kematian. Pembelajaran atas Dharma merupakan hal utama yang diselami pada kehidupan Wanaprasta, agar kelak juga menjadi panutan pada keturunannya. Dalam Sloka Sarasamuscaya ada beberapa pantangan yang perlu disimak dengan lebih baik.
***Sarasamuscaya 61***
“Waneh, wanaprasthadi, sawakaning mataki-taki kamoksan tatan hilang raganya, masuruhan maphala ryawakya, swartha kewala wih, inahaken patirthana, panemwana warawarah, ndan murkha, tan panolih sukhawasana, kadatwan tan paratu, grhastha tan masih ring anak, tan huninga ring rat kuneng, samangkanan lwir ning kawlas arep, niyata wi panemwanya hala”
Artinya : Lain lagi Wanaprastha dan sejenisnya, yaitu orang-orang yang mempersiapkan diri untuk memperoleh kelepasan (moksa) akan tetapi orang itu tidak lenyap nafsu berahinya, malahan memasak makanan hanya bagi kepentingan dirinya sendiri aja, mencemarkan tempat-tempat suci, angkara murka, tidak mengindahkan segala yang mengakibatkan kebahagiaan, kerajaan tanpa raja, seorang kepala rumah tangga yang tidak mengasihi anak-anaknya; pun tidak mempedulikan keadaan masyarakat, sedemikian banyaknya hal yang menimbulkan keprihatian, terang nyata mereka patut akan menuju malapetaka”.
Dalam sloka di atas begitu banyak yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh Sang Wanaprasta. Ini merupakan kebiasaan yang mungkin telah ia lakukan pada saat tahapan sebelumnya. Bisa jadi itu akan menjadi lebih mudah, daripada kemudian harus memulai pembiasaan itu dari awal pada tahapan Wanaprasta ini. Pengendalian diri pada Yama Niyama Bratha, merupakan bagian yang selayaknya dilaksanakan sehari-hari. Tentu saja ruang gerak Kama menjadi lebih ditekan pada masa ini, tidak seperti keleluasaan saat Grehasta Asrama. Disebutkan pula bahwa Wanaprasta mengurangi ruang Tresna atau cinta kepada dunia, termasuk pada Kelobhaan yang bersumber dari Kama serta kekuasaan kekayaan (Artha), dan nafsu.
***Sarasamuscaya 458-462***
“Nghing si tresna tikang manuwuhaken kalobhan, tatan hana bhedanikang kalobhan lawan wuhaya, ri kapwan krura anglemaken ring sangsara, tumuwuh pwang kalobhan, metu tang buddhi papa, ya tikamangun adharma, ikang adharma ya ta phaladukha, niwandhaning amukti lara prihati ika ta”
“Nihan ta denikang artha, ri duwegnyan paripurna siddha saphala nirwighna karjananya, samangkana ta yan pangde wulangan aniwuhaken mada; katekan pwa ya wighna, malwang hilang kunang, irika ta yan pagawe manastapa asamasama tan sipi, nguni rikala nyan inarjana pinrih kinarya, tan ucapen gonging denyagawe prihati, anghel ta sanghulun mangingettinget, kapan ta kunang ikang bhogan panukhe, ri haturnyan kinarya kinalaraken, ling mami mangkana arah glana”
Artinya : Trsna itulah yang menimbulkan nafsu lobha, tiada bedanya nafsu lobha itu dengan buaya, karena keduanya sama kejamnya menenggelamkan orang ke dalam lautan sengsara; jika nafsu lobha itu bertambah hebat, timbullah pikiran jahat, budhi papa itulah yang menimbulkan adharma, adharma itu menghasilkan keduhkhaan yang menjadi sebab orang menderita kesedihan dan kemurungan hati.
Artinya : Akan masalah harta (kekayaan) itu adalah sebagau berikut ; pada saat tercapai berhasil usaha memperoleh uang tanpa suatu rintangan, ketika itu harta (kekayaan) membuat bingung serta menimbulkan kecongkakan akan mendapat kesusahan, jika harta itu akan berkurang; atau habus; tatkala itu (terjadi) harta kekayaan akan membuat kesedihan hati tiada taranya; sebelumnya pada waktu itu berikhtiar dan berusaha memperoleh harta itu, tak terkatakan kesukaran yang dideritanya; hamba memikirkan, bilamanakah kiranya kemewahan itu akan memberikan kebahagiaan; meskipun telah diusahakan dengtan susah payah, akhirnya membawa bencana, demikian kata hamba ” ah sungguh sedih”.
Begitulah masalah keduniawian, hendaknya belajar untuk dikurangi sedemikian rupa belenggunya. Masalah tentang Kama hawa nafsu dan kelobaan, keserakahan, serta geliat pengaruh dari materi serta kekayaan. Ini menjadi bagian dari kehidupan yang selayaknya dapat dikurangi pada tahapan kehidupan Wanaprasta. Disebutkan dalam Grehasta sang Kama begitu juga pencarian Artha sangat perlu diutamakan dalam kehidupan. Namun pada ruang selanjutnya, wanaprasta kedua hal itu dikurangi sedemikian rupa, akan tetapi tetap kehidupan ini selalu berlandaskan pada Sang Dharma Sahadja.
SANYASIN
Sanyasin adalah tahapan yang terakhir, di mana telah mampu melepaskan diri dari dunia materialitas, serta telah mempersiapkan diri pada datangnya kematian. Ini merupakan tahapan kehidupan manusia ketika ia telah penuh dalam ruang dharma dalam hidup, menjadi panutan, dan tidak terikat lagi pada cinta, harta, atau hawa nafsu pada hidup. Ada yang mendapatkan kesempatan untuk medwijati sebagai Sang Sadhu yang telah meleburkan dirinya pada Dharma Hyang Agung, sebagai tangga tertinggi di tempat duduk yang penuh kebaikan, Sang Sulinggih. Pada Sarasamuscaya terdapat beberapa sloka tentang tahapan Sanyasin.
***Sarasamuscaya 372-373***
“Kunang sang hyang mretyu ngaranira, kala pinakawaknira, ksana, lawa, nimesa, ahoratradi, ya pinaka sadbhawa nira, patuduhaning cariranira, pinaka rupanira tang lara, tuhan, prasiddha pakatonira, mahas ta sira, wypaka amenuhing sakala loka, sira tamangan iking sarwabhawa, kadyangganing sarpa pakanangin, an pangan ikang pawana”
“Matangnyan pengpongen iking hurip, lawan wenangta ri kagawayaning dharmasadhana, apan ikang guna tuha ngaranya, atyanta sangsaranya, apan ikang guna tuha ngaranya, aryanta sangsaranya, anona mara kita wwang matuha, mangke kramanya, tan wenang matinggal wisaya, apan agong tisnaya, ndatan wenang ya ri kabhuktyanya, apan jirna sawendriyanya, tatan hana pahinya lawan crgataluha tan pahuntu, trsnanya ring aswadamatra, mangkana papadanikang wrddha kamuka, lawan ikang crgalatuha tanpahuntu, arah tan wenang amegat gongning trsnanya”
Artinya : Adapun sang maut itu, waktu merupakan tubuhnya, sesaat sekejap dan sekedip, siang dan malam dan sejenisnya, adalah bagian tubuh yang enam banyaknya; yang menjadi ciri tentang tubuhnya, yang merupakan bentuk lahirnya adalah penyakit, usia tua; demikianlah caranya menampakkan diri; maut itu menyusup, meluas, memenuhi seluruh dunia, ialah mencaplok sekalian mahluk hidup yang ada, seperti misalnya ular pemakan angin, maka ditelannyalah angin itu.
Artinya : Oleh karena itu pergunakanlah sebaik-baiknya waktu hidup ini dan kemampuan anda untuk melaksanakan dharma sebagai yang bernama sifat tua itu, kelewat hebat kesengsaraanya, kiranya dapat meninggalkan kesenangan duniawi, karena sangat terikat hatinya kepada kesenangan duniawi,karena sangat terikat kepada kesenangannya itu; akan tetapi tidak dapat ia mengenyam kenikmatannya, sebab lemah sekalian alat nafsunya, benar-benar tiada bedanya orang tua itu dengan serigala tua yang tiada bergigi lagi, namun masih bernafsu akan tulang-tulang, hanya dijilat-jilatnya saja tulang-tulang itu, oleh sebab keinginannya semata-mata untuk mengecap rasa enak belaka; demikianlah persamaannya orang tua yang bernafsu besar dengan serigala tua yang tidak bergigi lagi; sayang, tidak bisa ia mematahkan keinginan hatinya yang amat hebat itu.”
***Sarasamuscaya 387**
“Apan swabhawanikang janma, tinutning lara, tuha, prihati, duhkamaya ta pwa ya, apan tan paramartha sukha ikang sinukhakenya, enget pwa sang pandita ri tattwanya, matangnyan moksamarga sindhyanira, paramartha tambaning duhkha”
Artinya : Sebab kodratnya manusia, diikuti oleh penyakit usia tua, kesedihan, yang semuanya itu adalah bentuk kedukkaan, oleh karena bukan kebahagiaan sejati yang dijadikan kesenangan; sang pandita insaf akan kebenaran keadaan itu, karena jalan kelepasan dari ikatan dunia yang fana ini dituntut olehnya, yaitu obat paling mujarab terhadap kedukaan.
***Sarasamuscaya 417***
“Kunang denira, tan inangenangenira juga, gunanikang wastu telas kabhukti denira, inaknya, hayunya, salwirning palapanya, yatika pinungkurakenira, enak pwa parangmukhanira ri gunanya, hilang ta trsnanira irikang wastu”
Artinya : Maka prilaku sang pandita (orang yang arif bijaksana) segala sesuatu yang telah dikecap beliau, baik enaknya maupun kebaikannya, segala yang merupakan penawan hati beliau, justru itu yang ditinggalkan beliau; dengan gampang beliau mengalahkan segalanya itu, karena kelekatan hati beliau kepada barang sesuatunya itu telah tiada ada lagi.
Begitulah laku Sang Sanyasin dalam konsep yang tertuang pada Sarasamusccaya. Bahwa sang Wiku akan bersiap mengenal apa yang dinamakan kematian. Kematian yang membawa Sang Jiwhwatman menuju loka-loka di atasnya. Menyebrang menuju loka bwah, swah, atau bahkan menuju Jana,Maha,Tapa, Sunya Loka. Itu disebut Sapta Loka yang ditandakan sebagai alam selanjutnya.
Dalam cerita yang tersirat pada Swarga Rohana Parwa Mahabrata, disebutkan kisah mencari Surga oleh para Pandawa. Itu disimbolkan sebagai Stula dan Suksma Sarira menuju alam selanjutNya. Kejujuran, kebaikan, dari Sang Dharmawangsa. Prilaku Dharma diri sebagai cermin untuk menuju tempat terbaik atasNya. Semoga hati tekun dan tenang kelak ketika sang Maut hadir, sebagai bagian ketulusan karma kita sebagai seorang manusia.
Gus Lingga (Agustus 2024)


Tinggalkan komentar