Om Puja Hyang Parama Wisesa, tedun saking gumi Nusantara, pengabih Hyang Sutasoma sawidji, lebur sang durjana sang adharmika laksana, nuju naraka loka yamadwipa.
Pancasila Falsafah Bangsa
Berbicara tentang konsep kepemimpinan tentunya begitu banyak melupakan bahwa perlu adanya suatu pemisahan antara kekuasaan yang sejatinya berdiri sendiri, ketika lepas dari ranah sang dharma. Sang dharma yang berarti kebenaran, kebijaksanaan, keraharjaan, serta keadilan yang utama, selayaknya menjadi bagian dari sang pemimpin tersebut. Sang pemimpin yang memiliki daulat bagi rakyatnya, serta sang pemimpin yang memiliki karakter penuh menjaga kebenaran.
Ada berbagai pandangan tertentu untuk melihat bagaimana selayaknya seorang pemimpin yang benar. Benar maksudnya adalah memisahkan kekuasaan dari ranah keadharmaan, yang berarti pemegang tanggung jawab penuh terhadap kejayaan suatu bangsa. Bukan sebagai seseorang yang berkuasa untuk menjadi tanggungan dari suatu bangsa akibat prilaku adharmanya. Pandangan atau persepsi bagaimana sebaiknya seorang pemimpin, bisa termaknai pada filsafat pemimpin dari warisan kearifan budaya yang tentunya universal adanya. Budaya tersebut memberikan kelayakan tersendiri secara universal terhadap karakter seorang pemimpin, terlepas dari bagaimana keyakinan seorang pemimpin tersebut. Karena pada dasarnya falsafah negara yaitu Pancasila, memberikan kodefikasi bahwa pengayom bangsa adalah yang mampu menjadi atau melaksanakan, membumikan pancasila itu sendiri ke dalam kemajuan bangsanya.
Falsafah pancasila yang terdiri dari lima sila, begitu pula diimplementasikan melalui butir-butirnya, memberikan cara pandang serta way of life dari seorang warga negara Indonesia untuk menjalani kehidupannya dalam ruang kebenaran. Tentu saja ini adalah universal adanya sebagai bagian dari setiap jejak nafas kehidupan seorang wangsa nusantara. Falsafah pancasila yang secara garis besar berisikan manusia yang ber-Tuhan, juga memiliki keberadaban, kemudian menjunjung nasionalisme serta persatuan Indonesia, dan tidak lupa dengan asas berkelompok, bermusyawarat dalam kebijaksanaan. Dan yang terpenting adalah bagaimana keadilan sosial atau kesejahteraan secara adil sosial tercapai dengan sebaik-baiknya sebagai tujuan berbangsa. Manusia yang berkeyakinan, beradab, bersatu untuk negara, dijaga hak suaranya mengungkapkan kebijaksanaan, serta menjunjung tinggi keadilan sosial itulah wajah penting dari jiwa dan fisik bangsa indonesia.
Asta Brata Pemimpin yang Utama
Pemimpin yang menunjukkan tauladan untuk membumikan pancasila, sepertinya tidak akan lepas dari karakter-karakter yang terdapat pada budaya dan kearifan lokal bangsa. Sebagaimana disebutkan pada konsep Asta Brata atau delapan kepemimpinan selayaknya sifati para dewata sebagai simbolisme cahaya Tuhan, ilahi di dalam diri. Ilahiah di jiwa manusia yang sepertinya akan hadir pada manusia-manusia yang mampu melaksanakan pancasila secara utuh dan menjadi suri tauladan bagi rakyatnya. Seorang pemimpin yang agung, yang sepertinya layak dicari dan difiltrasi oleh daya pilih kebijaksanaan rakyatnya. Asta Brata itu antara lain :
- Surya Brata kepemimpinan yang penuh cahaya kebijaksanaan, yang memberikan cahaya terang untuk menuntun rakyatnya pergi dari kegelapan atau pun kebingungan yang ada.
- Chandra Brata yaitu kepemimpinan sebagaimana bulan yang sejuk untuk memberikan wajah yang mengayomi, serta menyejukkan rasa panas dari rakyatnya.
- Indera Brata seperti yang penuh kedermawanan namun pula mengetahui siapa yang layak dipercaya dan yang tidak patut dipercaya, mengetahui keperluan rakyatnya.
- Kubera Brata yaitu pemimpin yang mampu menggunakan sumber daya yang ada dengan baik, serta menggunakan itu dengan sangat hati-hati dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi serta golongan tertentu, menutup keinginan korupsi dan memperkaya diri.
- Bayu Brata yaitu pemimpin yang mampu memberikan informasi yang sejelas-jelasnya, sejujur-jujurnya dan sebaik-baiknya, dan memiliki telinga yang tajam untuk mendengar keluh kesah yang ada.
- Baruna Brata yaitu pemimpin seperti lautan yang mampu memahami keluh kesah yang ada di masyarakat, kemudian mampu melebur berbagai kekotoran-kekotoran yang ada, agar dilarung di laut.
- Agni Brata yaitu dengan api menghancurkan, membakar berbagai permasalahan, menghancurkan penghianatan, serta menghancurkan ia yang melakukan pencurian, dan bertindak jahat di kehidupan negara.
- Yama Brata yaitu sebagai yang sangat adil dalam mengetahui kebenaran, mampu memberikan hukuman setimpal pada yang menginginkan kehancuran negara, begitu pula para pencuri di negara tersebut. Sebagai hakim yang adil dan mumpuni.

Beberapa kepribadian seoranga pemimpin yang tercantumkan dalam ruang Asta Brata, tidak serta merta hanya dimiliki oleh pucuk pimpinan saja, akan tetapi berada pada sesiapa yang dipilih dan diberikan tanggung jawab oleh rakyat sebagai pengabdi bangsa. Dalam hal ini pihak eksekutif, yudikatif, atau pun legislatif yang terhormat. Ketika mampu dilaksanakan, maka akan membuat suatu bangsa bisa menjadi besar, namun ketika hanya sebagai pengkhianat bangsa, akan kelak menghancurkan dirinya, dan larut pada hukuman sekala niskala. Penghukuman di dunia dan juga hukuman di alam kematian, apatah yang paling mengerikan ketika seseorang untuk mati pun penuh ketakutan, yang seharusnya adalah sebuah pembebasan dari alam yang penuh ujian ini.
Karakter Pemimpin Pancasila
Ketika seseorang mengetahui falsafah negara pancasila, tentunya ia pun dengan otomatis memiliki karakter sang Asta Brata tersebut. Sebuah utopia dan pandangan visioner dari sebuah bangsa, adalah suatu standar idealisme menuju negara yang besar termasuk pula rakyat yang berkeadilan sosial seutuhnya. Pancasila dalam ruang berKeTuhanan, tentunya memahami bahwa Indonesia sendiri memiliki berbagai macam budaya yang agung, yang memiliki keyakinan dalam kesehariannya. Sebagaimana butir-butirnya yang mengisyaratkan tentang toleransi, serta hak asasi dalam berkeyakinan, di mana setiap keyakinan merupakan cahayaNya untuk lepas dari kegelapan. Seperti Surya Brata lah pengayoman seorang pemimpin dalam memberi sinar di kabut yang gelap dalam menjaga keyakinan rakyatnya.
Manusia yang beragama adalah manusia yang memiliki keberadaban dalam dirinya. Berkeyakinan tentu selain memberikan cahaya pada kegelapan, memiliki ranah beradab untuk memberikan nuansa sejuk pada sisi kemanusiaannya. Manusia yang adil dan beradab adalah manusia yang memiliki cahaya sejuk sang Chandra Brata sekaligus memberikan rasa adil seperti Sang Yama Brata kepada sesiapa yang berjalan pada jalan yang baik dan benar. Dalam butir-butir sila kedua menghargai harkat dan martabat manusia dalam berbagai suku bangsa, dan budaya, saling tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap orang lain, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, adalah karakter dari manusia yang beradab. Ini sepertinya perlu dijaga sedemikian rupa oleh berbagai lapisan yang merasa dan dipilih sebagai pemimpin-pemimpin bangsa.
Ia sebagai pemimpin yang mampu menyatukan berbagai perbedaan yang ada, adalah seorang yang tentunya diberi kepercayaan bagi yang memilihnya. Ini menjadikan tanggung jawab hidup serta sikap patriotisme dan nasionalismenya patut diperlihatkan secara nyata kepada rakyatnya. Seperti seorang pemimpin dari Surga Indra Brata yang tekun dan tangguh untuk selalu melihat segala sisi kepulauan, dan melihat rakyatnya yang berjuang untuk hidup. Ini artinya ia pula mengetahui informasi-informasi terkait rakyatnya, seperti kabar yang dikirimkan dan diketahui dengan jelas, kemudian sebagaimana Bayu Brata mengupayakan informasi itu ditelaah dengan baik, dan diberikan pemberdayaan dengan baik. Ini pula bisa menyatukan segala perbedaan yang ada dengan sebaik-baiknya, menciptakan pengayoman yang utuh terhadap wilayahnya dari ujung timur sampai ujung barat.
Sila selanjutnya adalah tentang bagaimana seorang pemimpin dipilih dengan cara yang paling baik dan dengan permusyawaratan perwakilan. Sebagai sarana kemerdekaan untuk berserikat dan memberikan hatinya kepada sesiapa yang dipilihnya. Perlu digarisbawahi adalah ketika seorang pemimpin dalam lingkup legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagai trias politika suatu negara, akan menjadi suatu panutan untuk rakyatnya. Begitu pula dirinya mengemban sesuatu yang lebih besar tanggung jawabnya sebagaimana telah diberikan “hati yang utama” oleh rakyatnya. Ketika nanti segala kebijaksanaanya hilang dalam ruang kegelapan (timira laku), seperti dana timira (kegelapan karena harta), kasuran timira (gelap karena kekuatan), atau kegelapan lain, sebagaimana manusia memiliki suatu keyakinan atas Tuhan dalam lingkup sila pertama, maka segala ranah pembalasan karma baik dari kehidupan ini atau pun kehidupan setelah mati, tentunya ia akan terima cepat atau lambat. Kecuali ia bisa mendeklarasikan diri sebagai seorang yang tidak berTuhan, saat itu pun ia telah “mati di kehidupan- tan hana jihwani ,pastu ring pratiwi”. Sang Baruna Brata akan membawa segala kematiannya di laut yang penuh kegelapan, seperti jiwa yang sirna kelak ditelan kala, tanpa memiliki makna, kosong dan rapuh. Rapuh ingin pergi cepat dengan bunuh diri, namun takut pada kekosongan keyakinannya, telah menyia-nyiakan waktu sebagai yang tidak bisa bertanggung jawab. Agni Brata adalah yang mampu meleburkan jiwa-jiwa sakit itu, menghancurkan, melumatkan senyum-senyum tawa kemenangan mereka di kehidupan. Seperti api yang membakar agar karma baik cepat datang, begitu pula karma buruk cepat tiba. Membakar berbagai permasalahan yang ada untuk mencapai sedemikian yang bisa tercapai.
Pencapaian kehidupan bernegara yang paling ideal kelak adalah tercapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Artinya adalah rakyat memiliki keyakinan yang terlindungi, dan penuh mengetahui diri sebagai manusia yang beradab. Ini tercipta di seluruh bagian negara dan bangsa, dan tentunya tidak mungkin bisa terlihat tanpa panutan dari para pemimpin legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Penggunaan anggaran yang sesuai dengan kebenaran dan tepat guna, sebagaimana Kubera Brata menuansakan dirinya. Semoga ini terlaksana adanya semesta untuk indonesia raya.
Kematian dalam Keadaan Hidup
Itu yang terjadi pada mereka,
Yang terpilih, namun mereka lupa,
Seluruh bagian dewan terhormat,
Atau seluruh yang dipilih untuk menjadi dipanut,
****
Berkeyakinan akan penguasa hidup,
Tapi hidup merasa istimewa,
Memakan dengan serakah,
Ah ada yang mati di sana, terserahlah,
Peduli setan, ya betul, setan sedang peduli,
Peduli dengan jiwa anda,…
*****
Ketika esok terbangun, rasakan setiap dusta terhirup, dan terhirup, seterusnya. Kemudian di setiap hirupan itu, ada suatu kesalahan diri yang tercantum, terangkum, serta nafas itu hanya berisikan karma diri. Percaya lah dan tidak percaya pun, setiap ucap dan pikir adalah doa, setiap rasa yang ada adalah barisan kesakitan yang terhirup. Nafas dan udara yang ada di setiap jejak kehidupan adalah ucap kemarin dulu, dan prilaku kemarin yang tersiapkan untuk diri di masa depan. Entah kelak akan dukka terpancar,atau kejenuhan akan tidak berharganya hidup akibat masa lalu diri. Itu mungkin yang tersiapkan pada udara saat ini, nanti dan seterusnya.
Ini mungkin kebenaran, mungkin jadi ketidakbenaran atas keyakinan yang benar dan tidak benar. Sampai itu masuk ke logika dan pola pikir anda, maka tentu saja logika itu tiada ada, dan pikiran itu pun nyata dan sedang mengada.
Begitulah Jiwa.
Gus Lingga Kalvatar Bali (Agustus 2025 sehari setelah kemerdekaan)


Tinggalkan komentar