Saat ini begitu banyak para kaum (yang katanya) beragama, mencoba berlomba-lomba menambah atau mencari suatu tambahan kuantitas. Namun yang perlu diutamakan sebagai gambaran besar umum adalah, setiap agama memberikan suatu opsi-opsi yang sama dalam bingkaiNya. Seseorang yang beragama tertentu hendaknya mengetahui apa yang perlu dijalani, dan apa yang perlu dihindari dari setiap agama tersebut. Kewajiban setiap agama sangat berbeda-beda dan kemudian tentunya itu mengkhusus pada pemeluk itu juga. Tidak ada suatu keterhilangan dalam lingkup agama, ketika seseorang itu mungkin berpindah keyakinan, namun akan ada suatu kewajiban yang perlu diupayakan seseorang itu untuk bisa hadir menjadi yang “terpilih” dan bisa menjalani “semua” keharusan dari agama tersebut.
Suatu agama secara spirit memiliki kesamaan yang signifikan tentang bagaimana seseorang bisa beretika, berbudi pekerti, memahami susila, serta memandang manusia dan semesta sebagai bagian dari ciptaanNya. Dalam konteks agama tertentu misalnya disebutkan tentang ajaran Kasih, kemudian ajaran Tat Twam Asi, dan mengasihi semesta seperti NamaNya Al Muaimin (Maha Pemelihara). Tentunya ini ada tersirat dari berbagai ayat-ayat atau sloka-sloka yang ada pada berbagai kitab suciNya yang turun di berbagai tempat. Yang ajaibnya adalah seperti menceritakan sesuatu yang sakral dan sama adaNya.
Ini juga terlihat pada ayat yang menyebutkan, “Ketika engkau membunuh satu orang tidak bersalah, maka ibaratnya engkau membunuh seluruh umat manusia”, atau “Kasihilah musuhmu”, atau “Sebaiknya engkau tidak melakukan sesuatu yang tidak engkau sukai kepada orang lain, yang engkau tidak suka orang lain lakukan itu kepada mu”. Hidup sepertinya akan lebih menyenangkan, dan menyamankan jiwa ketika keyakinan bisa teraplikasikan dengan sebaik-baiknya mengingat sisi manusia kita. Dan sebetulnya adalah ruang toleransi itu menjadi suatu bagian dari konsep Hyang Agung untuk manusia agar bisa ambil bagian dalam memelihara bumi ini.
Frase lainnya seperti yang diucap oleh Imam Ali bin Abi Thalib menyebutkan “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, maka ia adalah saudaramu dalam kemanusiaan”. Ini adalah suatu pepatah universal yang sangat besar pengaruhnya dalam menjaga kebersaudaraan atas manusia, menjaga nafas sang bumi itu sendiri. Kemudian dalam bahasa lainnya seperti pada Roma 12:18, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang”. Atau Dhammapada 5 “Kebencian tidak akan berakhir bila dibalas dengan kebencian, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih”. Lun Yu 15:23 Apa yang engkau tidak inginkan terjadi pada dirimu, janganlah engkau lakukan kepada orang lain (Konfucius)”. Ini menjelaskan pula bahwa senandung dari bahasa cinta kasih terhadap sesama berada pada setiap keyakinan yang telah ada.
Kemudian pada ruang hidup berpancasila sebagai pelindung bangsa dan negara, telah banyak juga berbagai butir-butir yang mengandung cahaya berkemanusiaan. Sila kedua dengan butir-butirnya seperti mengakui persamaan derajat, saling mencintai, tidak semena-mena terhadap orang lain, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, menghormati hak asasi manusia, adalah sangat lebih dari cukup sebagai penanda untuk mengingat sisi kemanusiaan kita. Dan butir sila ketiga yang mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika, yang menempatkan persatuan, kesatuan, dan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan, sesungguhnya adalah”lem perekat” terbaik dari para pendiri bangsa. Tinggal kita mengimplementasikannya dalam kehidupan sebagai pengejawantahan diri sebagai manusia yang “eling” akan kemanusiaannya.
Mungkin kembali menuju perjalanan hari ini di Indonesia, yang cenderung mengisyaratkan pemberian panggung bagi mereka-mereka yang mencoba untuk mengusik toleransi tersebut. Seperti Hari suci umat tertentu yang ditambahkan dengan frase log-in, atau pembiaran untuk mengacaukan butir sila pertama seperti beberapa dari butir itu :
- Menghormati kebebasan menjalan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain
- Membina kerukunan hidup antar umat beragama
Ketika disimak adalah bahwa Pancasila serta butir-butirnya seperti suatu hal sangat penting yang dianggap remeh dari sekedar pencapaian suatu tujuan tertentu menujuNya. Padahal ketika disimak adalah setiap keyakinan memiliki suatu koridor dan perjalanan sendiri-sendiri menuju pemahaman menujuNya, ranah Bhakti yang mungkin sedikit berbeda, serta juga kewajiban yang mungkin memiliki cara yang berbeda. Dan semua itu berujung pada penguatan etika, susila serta budi pekerti seharusnya, yang sangat memberikan “polesan” kebajikan di sisi sang jiwa dari setiap manusia tersebut. Karena pada akhirnya yang terlihat dan terbaca oleh Sang Khalik Hyang Agung, adalah jiwa mereka untuk menuju pengadilan terakhir.
Seperti bagaimana Dzat dalam pandangan muslim, yang menguji apakah ia mampu menyucikan nafs amarrah, lawanmah, menuju nafs as sufiyah, nafs mutmainah, menuju insan yang khamilah. Ini pun menyesuiakan dengan dimensi koridor dari etika, dan budi pekerti dalam hidup, serta kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan dalam ruang agamaNya. Atau juga bagaimana jiwa yang Khudus dapat disentuh melalui metode kasihNya, dan bagaimana Sang Buddha mengajarkan Dhamma Paramita sebagai jalur untuk penganutnya. Dalam ruang etika kehinduan (Bali) tentunya mengenal Tri Kaya Parisudha, Catur Paramita, Panca Yama-Niyama Brata, menghindari Sad ripu, Sapta timira, dan mengeliminir mereduksi Tamasika Guna Rajasika Guna pada kehidupan untuk mencapai penyucian Citta, Buddhi, Manah, Ahamkara menujuNya.Pembuktian itu adalah di dunia ini yang bisa jadi masih dikatakan semu, sampai nanti menuju keterlepasan kepada Mahrifatualla. Begitu mungkin yang terceritakan sang jiwa.
Ketika seseorang masuk pada ranah keyakinan yang berbeda, tentunya seseorang yang mengarahkan ia menuju jalan itu, belum tentu pula mampu memberikan bimbingan yang signifikan dari segi susila dan etikaNya. Dan apalagi ketika disuguhi suatu ruang “energi” rendah tamasika kegelapan, yang dimulai dari peniatan tentang keinginan untuk mendapatkan surga secara instan dan keinginan untuk dicatat sebagai yang paling dulu mencapai surga kenikmatan setelah mati. Raja Pisuna suatu fitnah, atau tan panca satya tidak memiliki suatu riwayat setia kepada ajarannya, akan memberikan bahasa-bahasa atau ajakan-ajakan yang malah menjerumuskan. Tidak ada seseorang yang mau ikut dengan guru yang tidak setia kepada ajaranNya sendiri. Toh belum tentu pula ia masuk pada penciptaan karma baikNya.
Hal yang terpenting di sini adalah setiap agama atau keyakinan memiliki pakem-pakem tersendiri untuk memahami bahasaNya, bahkan jalan untuk mengenal bahasaNya itu sungguh pun tidak terhingga. Agama adalah suatu konsep bahasa dengan prilaku, dengan lisan tulisan, dengan pikiran yang lurus dan baik untuk menujuNya. Sebagai perjalanan hidup di surga tingkatan terakhir (bhur loka). Manusia ditemani akal dan budi, sang manah sang buddi agar sang citta memori-memori baik kehidupan mampu mendapatkan tempat yang baik kelak nanti.
Salam Kebajikan
G.Lingga
Kalvatar Bali



Tinggalkan komentar