Om Awighnam Astu Namo Sidham..Ksama Sampurna Ya namo Namah, Suci Nirmala ya namo nama swaha.. Tan purun manah hring Hyang Wisesa, Guru Suhci Hyang Parama Kawi, Dumogi Tamas Niki Lebur hring hredaya shanti..
Sebuah fenomena yang baru-baru ini menghangat, Kerauhan ketedunan, kesurupan dan kesakitan mental…Ketika disimak dari bahasa bali pulau magis, tentu saja perlu dipahami bahwa yadnya yang sakral itu betul adanya..
Sebagaimana sebuah definisi tentang religi yang berisikan konsep sakral dan profan..sakral dalam ruang magis serta suci juga dalam lingkup yadnya, atau profan dalam keadaan sehari-hari kita..
Membahas makna sakralitas religi, tentu saja tidak bisa lepas dari desa kala patra, tempat waktu dan keadaan. Ini menjadi kunci yang tepat untuk memaknai apakah suatu kondisi trance itu menjadi “benar” adanya. Bahwa dalam ruang yadnya tentu saja bermakna sakral, dengan juga berbagai pembahasaan yang membuat lingkupan ruang yadnya menjadi meningkat kualitas kesakralannya. Ruang itu dipenuhi mantra, dipenuhi yantra-bebantenan, dipenuhi kidung, kekawin yang menghantarkan, atau suara gamelan yang menciptakan suasana sakra menjadi sedikit magis. Tentu saja termaknai kembali konsep bahwa sattwika yadnya yang sempurna, semakin dekat untuk tercapai.
Dalam sastra seperti pemaknaan bahwa dunia kita itu adalah berada di alam sapta loka terbawah, yaitu bhur loka. Dengan ini maka dapat dikatakan bahwa loka terbawah ini memiliki aturan-aturan sendiri agar kelak bisa kembali menuju tempat yang lebih berkualitas. Sapta loka sendiri terdiri dari tujuh bagian, yaitu bhur,bwah,swah,jana,tapa,maha,sunya loka. Maka dalam kehidupan di bhur loka, inti utama untuk meningkatkan kualitas diri itu adalah dengan Dharma.
Dalam Agastya parwa juga Sarasamuscaya menyebutkan tentang bagaimana manusia lahir ke dunia sebagai mahluk yang teruttama (memiliki sabda bayu idep), yang dapat kesempatan untuk meningkatkan kualitasnya dengan melaksanakan yadnya. Dan karena keuttamaannya itulah manusia yang berjalan dalam ruang dharma, memiliki kekuatan,kesucian, kekhususan untuk meningkatkan kualitas dari mahluk lainnya. Hal ini yang diaplikasian pada yadnya dengan korban tertentu.
Masuk pada pemahaman di atas, yadnya sendiri tentu saja bukan hanya dihadiri oleh sekedar diri manusia juga. Begitu banyak juga mahluk lainnya, atau para dewata yang diundang untuk hadir dalam upacara itu. Seperti sapta loka ada juga sapta patala sebagai tempat tinggal para mahluk-mahluk tamasik bhuta bhuti kala kali, juga dikuasai konon oleh para naga dan sebagainya. Sapta patala itu adalah sutala witala atala tala-tala rasatala mahatala patala loka. Maka dengan kehendakNya sang pemilik Semesta, mereka ikut hadir dalam berbagai ruang yadnya. Terkadang pula mereka masuk dan menuangkan eksistensi mereka pada bagian-bagian tertentu upacara yadnya itu.
Mereka dikatakan sebagai rencangan Ida, seperti rencangan para ruh-ruh suci yang membimbing manusia dalam lingkup alam bawah sadar, untuk menuju kualitas yang lebih baik dalam kehidupan. Sebagai media agar mereka dapat memberikan jalan bagi siapa saja, maka saat itu berkenan ruang bawah sadar ini terbuka untuk menjadikan cipta rasa bahasa karsa terlihat dalam hal yang disebut sebagai kerauhan, ketedunan, kesisipan, dan sebagainya. Terlepas dari apakah itu suatu bagian penyakit mental atau penyakit ruhani yang terjebak pada karma orang itu.
Lalu tentu dalam desa kala patra sebelumya disebutkan, apakah ada waktu yang tepat untuk terjadi hal-hal seperti itu? Tentunya membahas yadnya yang sakral, atau dalam ruang usadha balian pengiring pedasaran, maka tentunya ini sangat berkorelasi dengan yantra (bebantenan) dan mantra, “lelakon” yang dijalani olehnya atau karena petunjuk-petunjuk tertentu atas suatu hal. Contohnya adalah ketika IA Sang Meraga Suksma diundang, dan bersedia hadir, maka itu ada dalam kualitas yang sesuai. Lalu sesiapa yang hadir saat itu apakah dalam kondisi menari seperti para gandharwa , atau yang hadir dalam wujud suksma rencangan Ida, maka yang menari adalah tepatnya berada pada saat menuntun sesuatu yang suci juga sakral, seperti tirta, atau nunas hal-hal sakral lainnya. Kemudian rencangan ida dalam maujud karsa raksasa, raksasi, tentu saja dalam ruang caru serta kondisi yang berhubungan dengan entitas itu sendiri. Begitu juga yang lainnya.
Kemudian ketika hadir dalam usadha pengobatan oleh Ia “jero tapakan, jero dasaran, pengiring ida” maka tentunya bisa hadir sang pembuat sakit, dalam bebainan, ini tentunya bisa hadir dalam keadaan tidak sakral, atau profan sebagai penyakit saja. Dan mengenai fenomenan orang yang kerauhan pada kondisi tabrakan, dan ingin menusuk orang, atau menari-nari bak orang kerasukan pada saat tanpa banten, tanpa sarana apa, sudah pasti itu tidak sesuai sama sekali dengan konsep keluhuranNya. Begitu juga fenomena merasa kerauhan pada saat usai upacara yang sakral, atau pada hal-hal profan lainnya, itu tentu jauh dari makna kualitasNya.
Kalau menilai itu suatu hobi, sepertinya betul masih banyak hobi lainnya yang lebih menarik. Serta menuju kesadaranNya itu tidak semudah yang dibayangkan, dengan mencari dewa A sampai Z kemudian tanpa pijakan yang tepat (baca:tanpa dijaga banten wirasa enten) sama saja aje wera tan aguron-guron. Menjadikan diri sebagai media semesta adalah sebuah ruang bhakti yang semoga dalam bahasa “tulus-dadi”sattwika guna, bukanlah hal yang mudah. Sejenak kembalikan itu semua kepadaNya Hyang Kuasa Hyang Cadhu Shakti Ida hyang Prabhu, Ida Hyang Jnana,Ida Hyang Krya, Ida Hyang Wibhu Shakti. Semua terjadi apa adaNya pada semestaNya…
Kesimpulan yang ada, tidak semua trance itu adalah benar, tapi tidak semua juga orang yang trance itu adalah kesalahan. Berhati-hati dalam menilai pada desa kala patranya, serta kembalikan Sang Karma pada sesiapa itu di manah ning cika, wak hring cita, kayika sih lan eling….
Rahayu… Gus Lingga Wardana
