Ika Sang Guna Timira, wwang tan patut ring ucap-idep-ring laksana. Metu iya saking bhuta garbha, Idep landep nanging kayun ngrebeda. Wwang tan uning ring shanti, ring sukha raharja. Pralaya sinah kapanggih, sangsaya ring samastha manah iya sang durjana.

Dalam suatu masa, begitu banyak bagian kehidupan yang telah terjadi. Telah tertata rapi suatu tatatan kehidupan, mungkin juga suatu pencapaian yang sudah melewati suatu proses panjang dan mungkin melelahkan. Ini adalah bagian dari kehendak semesta dan juga Lila dari Bhuana Agung yang sinkron dengan buana alit sesungguhnya. Namun ada suatu keterjadian yang mungkin bisa menjadi suatu pergerakan yang berusaha menghancurkan tatanan.
Sang Guna Timira merupakan kepribadian seseorang yang merupakan bagian dari Sapta Timira tujuh kegelapan dalam kehidupan (hampir mirip sekali dengan Seven Deadly Sin). Guna Timira dapat dikatakan sebagai seseorang yang menghamba pada suatu kecerdasan, dan gelap karena suatu kepintaran serta menganggap dunia itu hanya ada orang pintar dan orang bodoh saja. Dalam hal ini ia itu akan memiliki suatu waham kebesaran tertentu, bahwa ia hanya ingin bersama orang-orang yang ia rasa pintar saja yang sejalan dengan pemikiran dia, kemudian biasanya akan merendahkan orang-orang yang mereka anggap bodoh.
Sapta Timira, Tujuh Kegelapan yang Berdasarkan Sarasamuscaya..
Dunia itu seperti hanya dibagi oleh dua bagian, pintar dan bodoh. Anda pintar, saya lebih pintar, anda bodoh, maka memang anda bodoh. Ini juga sifat ia Sang Guna Timira yaitu memanipulasi mereka yang percaya atas kata-kata mereka, kemudian benar-benar kurang tepat adalah kelicikan mereka bisa menciptakan suatu ruang kehancuran pada suatu tatanan tertentu. Inilah yang membuat itu sangat berbahaya, karena nilai-nilai etika ruang susila, serta bahasa-bahasa kebaikan dari sudut kebermasyarakatan menyirna. Sang Guna Timira adalah kegelapan ketika tanpa diiringi cahaya susila, etika dan keharmonisan.
Dalam leksikon Dharma, Tri Hita Karana adalah suatu pandangan yang sangat mumpuni sambil menjaga tatanan hidup dengan sangat baik. Sebagai border diri dan juga bingkai kebermasyarakatan yang memberikan norma-norma tertentu, tertulis atau tidak tertulis untuk menciptakan suatu keharmonisan yang terjaga. Tri hita karana disebutkan adalah Palemahan menjaga suatu lingkungan agar tetap baik, tetap tertib, sehingga mampu memberikan kenyamanan, ketentraman. Kemudian ada bernama dan Pawongan yaitu hubungan harmonis antar sesama manusia, artinya ruang empati, simpati yang terjaga serta tetap memberlakukan prilaku atas norma-norma dalam kehidupan. Yang terakhir adalah Parahyangan,yang artinya hubungan harmonis dengan pencipta Tuhan Yang Maha Esa yang pada akhirnya memberikan rasa tanggung jawab kepadaNya tentang menjaga kehidupan di semesta ini. Di Bhur loka sebagai bagian Sapta Loka terbawah di mana bumi pun masih dianggap sebagai bagian swarga loka yang nyata untuk saat ini.
Kewajiban menjaga keharmonisan ini tentu saja merupakan tugas dan tanggung jawab sebagai manusia dalam bingkai dharma (kebaikan dan kebijaksanaan). Apa pun atau siapa pun elemen masyakarat itu, komposisi kehidupan masing-masing manusia, tentunya ruang dharma adalah hal yg sangat bijaksana untuk dilaksanakan.
Kembali lagi pada konsep dasar Guna timira, maka ada standar dasar manusia untuk tidak bersandar hanya pada sesiapa yang lebih cerdas, atau sesiapa yang dikatakan bodoh, karena hal itu terliputi suatu tanggung jawab besar yaitu tentang rasa empati, susila, simpati, dan keharmonisan pada lingkup Tri Hita Karana. Sang Guna Timira ini dengan kelicikannya akan hadir menyetir sesiapa yang mampu ia manipulasi, kemudian menggunakan kelicikan itu untuk keinginan ia sendiri atau segelintir orang-orang. Ini berbahaya sekali dalam bingkai kehidupan, karena ketika kecerdasan dengan disertai niat-niat menghancurkan akan membawa bhur loka ini menuju pada ruang kehancuran dari tatanan-tatanan yang berlaku secara apik.
Bhur loka yang rusak adalah sebuah ketidakberdayaan manusia dalam menjaga alam swarga terbawah ini. Dan itu untuk menatanya butuh waktu yang tidak cepat sedemikian rupa. Kemudian pula terdapat pula sastra menyebutkan tentang tempat-tempat di mana Sang Guna Timira ini akan hadir di alam setelah kematian. Disebutkan dengan alam Sapta Patala, alam bawah yang dihuni mahluk-mahluk yang bukan manusia. Atala, Witala, Sutala, Talatala, Mahatala, Rasatala, Patala dikatakan sebagai tempat penyucian diri jiwa-jiwa yang melakukan suatu kejahatan di dunia. Tentunya sebagai manusia yang memercayai hukum karmapala, dan konsep kehidupan setelah mati, serta surga neraka, pastinya akan lebih tenang ketika dalam kehidupan sudah mampu menjalaninya dalam ruang dharma.
Dikatakan sastra bahwa begitu banyak lapisan Patala itu, menunjukkan tingkatan-tingkatan semakin bawah maka semakin lama pembersihan penyucian diri itu untuk dapat kembali menuju alam-alam di atasnya. Khusus dengan Sang Guna Timira yang pandai menghasut dan mendapatkan hasil akhir menuju kekacauan, maka kelak jiwanya akan menuju alam Mahatala,Rasatala, atau Patala loka. Ini juga memberikan ruang Sastraghna Atatayi yaitu keadaan yang membuat kemarahan yang membesar dan mengamuk, sekaligus Raja Pisuna Atatayi mengatakan suatu fitnah kepada seseorang yang mengakibatkan kekacauan tertentu. Alam patala itu dideskripsikan penuh dengan kengerian yang mungkin membawa penyesalan yang sangat sulit diperbaiki. Sebagaimana juga sastra di dunia bahwa semesta memberikan karma buruk bagi mereka yang melakukan hal-hal adharma itu. Tentunya semoga kita terhindar dari ruang karma buruk itu.
Manusia akan kemana?setelah “Kematian”..(wraspatti tattwa)..
Hal-hal yang menjadikan dunia ini damai serta dalam kesejahteraan, patut sekali diapresiasi dan diikuti. Sarasamuscaya menyebutkan kelahiran dalam ruang dharma adalah sebuah keberuntungan dan kebaikan bagi kita, karena dengan itu (menjadi manusia dharma) dapat meningkatkan kualitas diri dan jiwa kita.
Semoga kita terhindar dari ruang Sang Guna Timira. Kehidupan adalah tempat belajar, belajar yang juga memberikan tempat bagi yang lain untuk menikmati karma baiknya. Tugas dalam mengemban konsep Tri Hita Karana keharmonisan antara manusia, Tuhan, dan lingkungan tempat tinggal kita, adalah suatu tanggung jawab kita sebagai manusia Dharma.
Gus Lingga Agustus 2024 akhir.


Tinggalkan komentar