Ngaben Massal dalam Konteks “Ajeg Bali”
Upacara Ngaben sebenarnya adalah upacara yang sangat dikenal di Bali, dan bahkan dikenal juga oleh umat lain atau juga sampai dikenal oleh dunia. Ngaben pada dasarnya adalah suatu upacara yadnya yang menjadi bagian dari pitra yadnya. Pitra yadnya yakni adalah upacara yang berhubungan dengan pitara atau roh leluhur. Upacara ini merupakan upacara yang mengantar kerabat yang meninggal agar bisa berjalan lancar dalam kehidupan di alam setelah hidup ini.
Bagaimana ngaben itu menjadi begitu penting, pada dasarnya adalah merupakan hutang yang wajib dibayar oleh keluarga kepada diri yang meninggal. Di samping itu pula juga merupakan lima kewajiban yadnya (panca yadnya) dari umat di kehidupan dunia. Untuk pentingnya ngaben itu sendiri dapat dilihat pada Tattwa Loka Kretti :
“Adapun sawa yang tidak diupacarakan (ngaben), atmanya akan berada di Neraka, bertempat di tegal yang sangat panas, yang penuh dengan pohon madhuri reges, terbakarnya oleh sengatan matahari, menangis tersendu-sendu, menyebut anak cucunya masih hidup, katanya Oh anakku, tidak sedikit belas kasihanmu kepada leluhurmu, memberikan bubur dan air seteguk, saya dulu punya tidak ada yang saya bawa, kamu juga menikmati, pakau baik-baik, tidak ingat sama ayah-ibu, Air tirtha pengentas, pemastuku, semoga kamu umur pendek, demikian kutukannya. Dasar-dasar pikiran tersebut menjadi landasan adanya upacara ngaben tersebut “
Untuk itulah agar Atma yang terhalang perginya, perlu badan kasarnya diupacarakan untuk mempercepat kembalinya, kepada sumbernya di alam, yakni Panca Mahabhuta. Demikian juga bagi sang Atma dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitara dan memutuskan ikatan ke badan kasarnya. Proses inilah disebut ngaben (Wikarman, hal 18).
Kembali lagi ke jaman sekarang, di mana globalisasi telah menjadi bagian sehari-hari. Peningkatan dari suatu kebutuhan jelaslah akan semakin dibebani oleh masyarakat. Seperti kebutuhan sekolah anak, kebutuhan keluarga, atau mungkin pula kebutuhan kesehatan. Bergeraknya kehidupan, terutama di bidang ritual keagamaan juga menjadi suatu pengeluaran penting dari umat hindu di Bali ini. Menurut Sukarsa (2009,hal 55) disebutkan bahwa pengeluaran ritual yang didapat di Gianyar berdasarkan Tri Hita Karana adalah bahwa Hubungan manusia dengan manusia ( manusa yadnya, undangan, gotong royong) sebesar Rp. 4.791.693,47 (56%). Dan untuk Dewa Yadnya atau hubungan manusia dengan tuhan adalah 42% serta manusia dengan lingkungan adalah 2 %. Jadi total adalah 8 jutaan per tahun. Itu adalah suatu gambaran pengeluaran ritual di Bali.
Bali sebagai suatu daerah pariwisata, sebenarnya sangat terkenal di seluruh dunia. Terutama juga adalah bagaimana pariwisata bali menggunakan ikon pariwisata budaya. Hal itu adalah suatu kebanggaan namun juga suatu beban kalau memang tidak disebut keharusan bahwa semakin meningkatnya pariwisata menyerap tenaga kerja yang pula mengurangi waktu untuk keperluan lainnya. Lalu bagaimana yang tidak mendapatkan kue pariwisata itu. Darimana ia akan mendapatkan penghasilan untuk melaksanakan ritualnya, serta bagaimana mereka yang sibuk untuk melaksanakan kewajiban dalam meluangkan waktunya. Di satu sisi para wisatawan tentunya menginginkan kebudayaan Bali akan selalu ada selamanya.
Akhirnya ngaben massal muncul dan menjamur, walaupun dapat dikatakan sudah lama menjadi suatu sisi yang mungkin memberi angin yang segar. Sebelum ngaben massal itu kita lihat, mari kita perincian dana dari ngaben sarat (ngaben yang semarak sesuai dengan upacaranya) yang diperoleh Wikarman (2010). Maka dana yang dikeluarkan untuk bagaimana ngaben sarat itu dilaksanakan adalah sebesar Rp.13.345.000 (1993). Dan itu masih merupakan ngaben sarat dalam tingkatan kecil. Pada dasarnya adalah ngaben sarat merupakan tingkat ngaben yang penuh semarak atau kemeriahan sesuai dengan upacara yang diadakannya. Ini mungkin pula sebagai aktivitas upacara pitra yadnya yang menjadi ikon Bali atau pariwisata.
Ngabaen massal telah dilakukan di kuta pada tahun 2008 yang juga diikuti oleh beberapa desa di Klungkung, Karangasem, Gianyar atau pun di Kintamani. Seperti pula dilihat dari penjelasan LPD desa adat Kedonganan, I Ketut Madra, S.H. M.M., bahwa biaya yang sebenarnya upacara ngaben senilai 60 juta dapat dihemat hanya menjadi 15 juta sampai 20 juta, dan bisa dialokasikan ke pendidikan anak-anak, katanya. Lain pula di Jembrana, di mana ngaben massal dilaksanakan di desa batu agung. Yang ikut pun tidak hanya dari desa sendiri terdapat juga dari desa yehembang, candikusuma, warna sari dan bahkan dari lombok pula. Sedangkan besaran biaya yang dipatok adalah senilai Rp. 1.750.000 untuk memukur, dan Rp. 750.000 untuk ngelungah.
Hal ini dapat disadari merupakan suatu yang sangat membantu bagi masyarakat yang membutuhkan kelepasan terhadap belenggu biaya. Di samping itu pula bagaimana jika ini dilaksanakan ke depannya akan menjadi suatu dasar yang kokoh pada pendidikan umat, dalam bidang ekonomi, namun tidak melupakan budaya sebagai pilarnya. Hal ini sejalan pula dengan apa-apa yang disebut konsep Ajeg Bali. Ajeg Bali dapat diartikan sebagai “Kondisi dinamik Bali, yang meliputi segenap aspek kehidupannya yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhannya yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatanya dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, kelangsungan hidupnya sendiri dalam hubungannya dengan kelangsungan hidup bangsa dan Negara (NKRI) serta perjuangan mengejar tujuan nasional (wingarta,2006:6).
Dari definisi di atas, sebenarnya adalah ajeg bali merupakan suatu yang dinamis dan bukan statis. Dan dari apa yang disebut aspek kehidupan adalah bukan hanya dari sisi sosial budaya dan agama saja, namun juga dari sisi politik, ekonomi, demografi, geografi, serta ideologi, dan juga pertahanan, keamanan. Semuanya mensifati hubungan terintegrasi yang artinya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Jadi tidak ada hal yang boleh terlepas dalam kelangsungan untuk mengembangkan dan mempertahankan Bali itu sendiri.
Dapat juga dilihat pada definisi yang telah disebutkan, bahwa bagaimana ancaman yang ada baik dari dalam atau dari luar yang secara langsung atau tidak langsung, menjadi suatu yang harus dihadapi dan dicarikan solusinya. Sehubungan dengan saat ini bahwa ancaman datang mungkin dari bagaimana globalisasi itu cukup membelenggu, terutama dengan kebutuhan yang terus meningkat. Di samping itu kebudayaan tentu saja harus diupayakan sedemikian rupa untuk tetap ada, selain pula dari sisi religi dan agama tetap dipertahankan sesuai dengan sumber-sumber sucinya.
Ngaben massal seperti yang diketahui adalah suatu upacara yang besar pula jika dilangsungkan sendiri. Namun ngaben massal betullah suatu upacara yang tidak terlalu membebani karena secara kolektif biaya itu ditanggung bersama. Bahkan ada sedikit selentingan kata-kata dari seseorang yang mengikuti ngaben massal, “Jika dari dahulu ada upacara ngaben seperti ini, tidaklah sampai tanah leluhur dulu saya habis terjual.” Dari sini terlihat jelas bagaimana kegunaan tersendiri dari ngaben massal itu.
Bagi Ajeg Bali pada dasarnya, jika sekumpulan dari selentingan itu benar, maka ngaben massal juga akan menyelamatkan kondisi geografis dari kepemilikan wilayah pulau Bali itu sendiri. Selain itu jelas bahwa dari segi ekonomi membantu bagi yang kurang memiliki kemampuan dana untuk melaksanakan ngaben secara personal. Dari segi budaya pada dasarnya akan menjadi suatu keajegan tersendiri, di samping pula sesuai dengan ikon pariwisata budaya untuk Bali. Terakhir untuk kelayakan ngaben massal, sebenarnya telah dilakukan oleh berbagai desa atau adat dan tentu saja melibatkan para sulinggih. Hal ini menunjukkan bahwa secara agama ngaben massal tidak bertentangan dengan sumber-sumber suci yang terbukti secara aplikasi oleh legitimasi para sulinggih. Jadi tidaklah salah bahwa Ajeg Bali bisa dijaga oleh ngaben massal ini. Dan ke depannya ngaben massal sangat relevan untuk dilaksanakan dalam perkembangan jaman yang semakin global dan modern ini sekaligus pula semakin mencekik.
Daftar Pustaka
Abhi (humas), 2012. “Ngaben Massal, Hemat Biaya dan Kaya Manfaat”.
Baktian Rivai Ardhian, 2010. “Ajeg Bali : Konsep untuk Selamatkan Bali.” Di
Dwi Koestanto Benny, 2008. “ Ngaben Massal : Seribu Harapan di Setra Dalem Ubud
Dwija Bhagawan,____.” Ngaben Gotong Royong”. Di website http://stitidharma.org/ngaben-gotong-royong/
Sujaya Made, 2008. “Ini Eranya Ngaben
Sukarsa Made, 2009. “Biaya Upacara Manusia Bali”. Penerbit Arti Foundation Bali.
Wikarman Singgin I Nyoman, 2010. “Ngaben (Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama)”. Penerbit Paramita Surabaya.
_____, ____. “Ritual Ngaben”. Di
Semoga Atman menyatu dengan Brahman, dan atau terlahir kembali menjadi manusia yang selalu menjalankan DHARMA. Ngaben merupakan wujud keiklasan kita untuk menyerahkan badan ini kepada yang memilikinya, SEMUA INI MILIK TUHAN, tanpa harus menyembunyikan tulang-belulang dalam kubur hingga bertahun2. Betapa mulia ajaran yang terkandung dalam upacara Ngaben ini, rasa tulus yang di ajarkan hanya oleh Sanatana Dharma.
SukaSuka