Pengelolaan serta Pemanfaatan Sampah (Upacara)

Pengelolaan serta Pemanfaatan Sampah Upacara

A.Pola Pikir tentang Sampah (upacara)

Saat kita dihadapkan dengan kata sampah, maka yang ada dalam pikiran adalah kata “jijik” dan “kotor”. Hal itulah sebenarnya yang menyebabkan ketidakpedulian terhadap sampah itu sendiri menjadi meningkat. Padahal sampah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri, sebagai sesuatu hasil dari pekerjaan tertentu yang tidak bernilai atau ampas-ampas yang tidak digunakan lagi. Sampah adalah keseharian hidup manusia, bahkan sampah adalah tidak terpisahkan pula pada hubungan dengan kekuasaan Ilahi itu sendiri. Seperti pula bagaimana Tri Hita Karana, yaitu Parahyangan, Pawongan, Palemahan.

Dalam hubungan yang selaras dengan lingkungan (alam) atau Palemahan, maka hendaknya disadari bahwa untuk menjaga suatu lingkungan agar tetap bersih dan senantiasa asri yang mencakup sebagai suatu kebersihan diri itu sendiri. Dalam mitos-mitos tentang Betara Kala, disebutkan bahwa saat itu Dewa Kumara dikejar-kejar dan lolos karena bersembunyi di dalam gundukan sampah. Maka Betara Kala pun mengutuk orang-orang yang membuang sampah sembarangan agar mendapatkan penyakit menular (www.balipost.co.id). Hal itu secara logika bisa dikatakan onggokan sampah adalah sumber penyakit yang membahayakan manusia sekitarnya. Di samping itu menurut pemahaman Tri Guna (Sattwam, Rajas, Tamas), maka manusia yang berlebihan dalam tabiat tamasnya, akan bersifat atau berkepribadian awut-awutan, tidak terurus,, hal ini sangat berhubungan dengan tingkat kepedulian kebersihan akan lingkungan itu sendiri.

Jika dilihat pada Tiga Kerangka Agama Hindu, maka Tattwa serta Susila diangkat atau dijalankan melalui Upacara. Upacara yang ada adalah sebagai bagian dari pembayaran tiga utang (Tri Rna) yaitu kepada Dewa, kepada Pitara, serta kepada Rsi. Dan kewajiban yang ada dalam pembayaran hutang itu, dijalankan dengan Panca Yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Maka Panca Yadnya ini jika dilaksanakan memerlukan berbagai sarana-sarana, dalam hal ini adalah bebantenan itu sendiri. Dan pada akhir dari upacara, maka lungsuran atau prasadam sisa upacara akan dinikmati oleh yang menghaturkan yadnya tersebut. Hal ini seperti juga dikatakan pada Bhagawadgita sloka III-13 yaitu,

Bhagawadgita III-13

“yajna-sistasinah santo mucyante sarwa-kilbisaih,

Bhunjate te tw agham papa ye pacanty atma-karanat”

Artinya : Orang-orang baik yang makan sisa persembahan kurban akan terlepas dari segala dosa, tetapi orang-orang jahat yang mempersiapkan makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya mereka itu makan dosa”

Jadi pada intinya adalah bahwa sisa-sisa persembahan dari kurban jika dimanfaatkan sebenarnya akan terlepas dari segala dosa. Maka hasil dari upacara pun sebenarnya adalah akan menjadi suatu manfaat tertentu jika dengan sadar kita pahami bahwa tidak ada satu apa pun yang tidak bernilai, walaupun itu adalah dalam bentuk sampah.

Dalam Manawa Dharmasastra IV.56 juga disebutkan bagaimana hendaknya agar tidak membuang sampah sembarangan yang dijelaskan sebagai berikut :

Manawa Dharmasastra IV.56

Napsu mutram purisam wa sthiwanam wa samutrsjet, amedhya lipya menyadwa lohitam wa wisaniwa”.

Artinya : Hendaknya ia jangan kencing atau berak dalam air sungai, danau, dan laut, tidak pula meludah, juga tidak boleh berkata-kata kotor, tidak pula melemparkan sampah, darah, atau sesuatu yang berbisa atau beracun.

Sloka ini juga menyarankan bagaimana baiknya untuk tetap menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah.

  1. Sampah Upacara serta Nilai yang Terkandung di dalamnya.

Dalam pelaksanaan upacara Yadnya, terdapat sindiran dari umat lain yang menyatakan bahwa cara persembahyangan umat hindu hanya menghasilkan sampah yang menggunung. Hal itu sebenarnya tidak dapat disanggah jika melihat berapa jumlah volume sampah sisa dari hasil upacara itu sendiri. Sebagai contoh pada berita di salah satu stasiun TV menyebutkan bahwa sampah yang dihasilkan pada hari raya galungan adalah sebanyak 5000 meter kubik atau setara dengan 714 sampah yang diangkut oleh truk. Coba diperkirakan bagaimana pertambahan jumlah sampah pada hari raya yang lain. Memang dalam hal ini sudah dilakukan pembuangan sampah menuju TPA-TPA yang ada. Namun mari kita lihat bagaimanakah sampah-sampah yang ada di pantai misalnya, semakin tidak terlihat manis di mata.

Sebagai gambaran data biro pusat statistik yang menyebutkan bahwa di kawasan perkotaan baru 11,25 % sampah yang dihasilkan diangkut oleh petugas pemerintah, sisanya 63,35 % sampah ditimbun/dibakar, 6,35 % sampah dibuat kompos, dan 19,05% sampah dibuang ke kali secara sembarangan. Sementara itu, di kawasan pedesaan, sebanyak 19 % sampah diangkut petugas, 54 % ditimbun atau dibakar, 7% dibuat kompos, dan 20 % dibuang di kali sembarangan. Dari statistik di atas menggambarkan bahwa pengelolaan sampah secara salah sekitar 20% masih dilakukan, yang artinya sebagai cikal bakal penyakit (kutukan Bhatara Kala) serta sifat ketamasan. Namun jika diletakkan suatu pikiran bahwa sampah, dalam hal ini sampah upacara sebagai juga suatu yang dapat dimanfaatkan atau sebagai lungsuran(prasadham), maka sebenarnya sudah terdapat 7 % yang secara sadar menyebutkan sampah bisa bernilai guna sebagai pupuk kompos untuk melestarikan kehidupan serta lingkungan itu sendiri.

Sampah upacara pada dasarnya dapat dimasukkan sebagai sampah organik dan sedikit pula terdiri dari sampah yang anorganik. Sampah organik adalah sampah yang bisa terurai dan mudah membusuk, yang diantaranya sisa makanan, sayur, daun-daun kering, bunga, dan sebagainya. Pada upacara maka sampah organik adalah bunga, janur, buah, dupa, serta bagian yang bisa membusuk lainnya. Lain pula dengan sampah unorganik yang tidak dapat terurai. Sebagai contohnya adalah plastik, kertas, plastik mainan, kaleng, dan sebagainya (wikipedia). Pada intinya yang diperlukan untuk mendapatkan suatu nilai tambah dari suatu sampah adalah dengan melakukan pemisahan terdahulu antara sampah organik dan sampah unorganik tersebut.

Pemanfaatan sampah organik yang diubah menjadi pupuk yang juga bernilai tambah, adalah hal yang bisa dilakukan. Karena pada dasarnya penggunaan pupuk dari organik lebih bermanfaat dan mengurangi sifat-sifat kimiawi yang membahayakan daripada menggunakan pupuk kimia itu sendiri. Dan permintaan yang cukup tinggi di pasar, menyebabkan harga dari pupuk ini per kilonya mencapai Rp.10.000,00. Dan dalam jumlah banyak (sekitar 1 ton) harganya juga menyesuaikan menjadi Rp.5.000,00. Pupuk juga bisa digunakan sendiri untuk perkebunan atau taman. Jadi nilai tambah dari sampah yang diyakini adalah nol, menjadi lebih bermakna secara ekonomis, serta bernilai pula dari sisi kebersihan dan menuju Bali go-green 2013 sesuai dengan program pemerintah.

Untuk awalnya, maka pemanfaatan sampah ini bisa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut (Susetya) :

  1. Pengumpulan sampah organik : Semua sampah organik berbentuk dedaunan, sampah sayur, buah dikumpulkan. Untuk sampah yang berukuran besar, dipotong-potong terlebih dahulu agar bisa masuk ke dalam kantong plastik.
  2. Pemasukan sampah ke dalam kantong : Setelah selesai dipotong, secara bertahap masukkan sampah ke dalam kantong. Selanjutnya siramkan larutan promi secara merata. Masukkan kembali selapis sampah 10 cm, siramkan kembali larutan promi. Ulangi langkah sampai kantong plastik penuh.
  3. Inkubasi : Proses inkubasi dengan menutup rapat kantong plastik dengan tali plastik. Biarkan kurang lebih 3-6 minggu hingga kompos matang.
  4. Panen kompos : Setelah matang, bisa langsung digunakan. Namun untuk hasil lebih berkualitas, sebaiknya kompos matang dikeringkan, dicacah, dan diayak. Sehingga pupuk yang dihasilkan tidak berbau dan layak jual.

Jadi penggunaan atau pemanfaatan menjadi kompos adalah suatu yang termasuk dalam wilayah melestarikan palemahan (lingkungan), sebagaimana pula jika dilakukan secara profesional, maka akan menambah atau membantu perekonomian selain pula membantu pemerintah dalam mewujudkan lingkungan yang asri.

  1. Manfaat dari Budaya Pengelolaan Sampah

Sampah sebenarnya adalah suatu yang memiliki nilai jika bisa dilakukan pengolahannya menjadi sesuatu yang berguna. Dalam hal ini di daerah denpasar sendiri sudah berdiri bank sampah di jalan Noja. Sebagamana telah berjalan dua tahun (2010) dan menjadi tempat pengubahan sampah menjadi suatu yang bernilai ekonomis. Selain itu pula seperti namanya yaitu “bank”, ada sebagai tempat menabung sampah secara berkala, dan diuangkan sehingga bernilai ekonomis baik bagi yang menyetorkan sampah serta bagi yang manajemen yang mengelolanya.

Lain pula bagaimana pengembangan pengelolaan sampah di temesi. Di samping pula sebagai tempat yang memproduksi pupuk kompos serta biodiesel, Temesi juga mengambil bagian sebagai pusat pendidikan untuk menciptakan lingkungan yang lebih indah baik itu di daerah Gianyar, atau keseluruhan Bali pada umumnya. Dan kompos yang dihasilkan di Temesi ini juga diperjualbelikan untuk memenuhi kebutuhan para petani secara keseluruhan.

Profesionalitas pengelolaan itu pun, bisa dicontoh dari sekeliling wilayah masyarakat, apakah itu banjar, desa, atau bisa dalam pengorganisasian tempat persembahyangan suatu daerah di Bali. Selain pula dibantu dari swasta, pemerintah untuk menunjang kebersihan serta keasrian seperti pula pemberdayaan desa adat itu sendiri.

Dalam suatu pola pikir masyarakat, maka sampah adalah dianggap sebagai suatu yang terpinggirkan dan menjadi posisi tersudut atau marginal. Padahal sampah dalam hal ini bisa jadi merupakan suatu anugerah pula bagi masyarakat itu sendiri. Baik itu seperti sampah sebagai akibat hasil dari upacara yang dilakukan oleh umat dalam melaksanakan prosesi panca yadnya-nya. Sekehendaknya adalah posisi marginal itu diberikan ruang pemikiran untuk menjadi suatu yang berguna di kedepannya. Manfaat untuk lingkungan dalam hal ini Bali itu sendiri adalah menjadi tujuannya.Di samping pula menyongsong Bali untuk menjadi Bali yang selalu bersih, aman, lestari, dan indah.

Daftar Pustaka

Arifin, Togar Silaban. 2008. Memaknai Nilai Ekonomis Sampah. Pada website

Gede Dharma Putra. 2010. Upaya Mengatasi Pencemaran Lingkungan yang Berasal dari sampah, . Pada website

Handayani Trisakti. 2010. Dekonstruksi dalam Penelitian Cultural Studies. Pada website trisakti.staff.umm.ac.id/files/2010/03/Dekonstruksi1.pps

Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1997. Sarasamuscaya (dalam teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna). Penerbit Paramita Surabaya.

Maswinara, I Wayan (penyadur). 1997. Bhagawadgita (dalam Bahasa Inggris dan Indonesia). Penerbit Paramita Surabaya.

Pudja G.,M.A. , Rai Sudharta, Tjokorda, M.A. 1996. Manawa Dharmacastra (Weda Smreti Compendium Hindu). Penerbit Hanuman Sakti Jakarta.

Putrawan. 2010. Permasalahan Sampah Sisa Upacara. Pada Website

Susetya Darma,S.P. ____. Panduan Lengkap Membuat Pupuk Organik (untuk tanaman Pertanian Perkebunan). Penerbit Pustaka Baru Press.

Sumada Ketut. 2012. Pemanfaatan Limbah “Canang” (Bunga) di Pura. Pada Website

Syahyuti. 2011. Teori Dekontruksi Derrida. Pada website

___________. 2012. Volume Sampah Galungan Setara dengan 714 Truk,

___________.____. Susila dalam Agama Hindu. Pada website

___________.____. About Our Compost. Pada website

2 tanggapan untuk “Pengelolaan serta Pemanfaatan Sampah (Upacara)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.