Tuhan budaya dalam Psikologi

Tuhan budaya dalam Psikologi

 

Memahami psikologi seperti pada bahasa freud tentang menganalisa hal-hal kecil, tentunya menjadi sesuatu yang bermakna sangat besar. Dan pada dasarnya kemampuan manusia untuk memahami jiwanya dari apa yang terpapar sedikit pada kehidupan yang biasanya ia jalani, akan membawa pada kesediaan mereka untuk memahami diri itu sendiri. Sebagai sesuatu mahluk yang memiliki jiwa, dan dalam kecendrungan akan memiliki karakter, pola pikir, serta kebiasaan-kebiasaan yang jelas memiliki makna tersendiri.
Pada dasarnya sebuah pemaknaan akan jiwa akan membawa manusia pada keterbiasaan mereka sehari-hari. Sebagai contoh adalah ketika mereka memercayai bahwa masuk ke rumah orang yang baik adalah dengan kaki kanan, maka ia akan memaknai itu sebagai sebuah kepercayaan diri bahwa ia sedang berada pada niat yang memang baik. Tentu saja ini memengaruhi bagaimana jiwa memahami tentang dirinya sebagai manusia yang mendirikan jiwanya pada etika atau juga dengan itu memengaruhi konsep ia menjadi manusia kesehariannya.

Keseharian itu adalah sebuah bagian yang tak terpisahkan dari bagaimana ia menjalani niatan ia pada kehidupan ia sendiri. Dalam kejiwaan, maka tentunya ia adalah sebuah konsep yang mengada saat jiwa itu bisa didefinisikan sesuai dengan apa-apa yang ada. Secara literatur dikembangkan oleh Jung sebagai sumbernya, maka bahwa jiwa itu adalah kumpulan dari empat makna tersendiri yang dinisbahkan sebagai bagian-bagian yang terdiri dari

  1. Memori-intuitif-insting yang berkembang dalam bahasa lain sebagai kodrat, yang juga dimaknai sebagai ID oleh Freud ( namun freud membagi menjadi tiga, id ego super ego).
  2. Rasa-emosi-keniatan-moral? Yang merupakan bagian dari rasa akan sesuatu untuk melihat itu sebagai sesuatu yang bernilai dan menghadirkan serta memengaruhi perasaan mood juga pada taraf hormonal yang memberikan nilai akan keindahan ketidakindahan, kesenangan ketidaksenangan, kenyamanan ketidaknyamanan kenikmatan ketidaknikmakatan dan sebagainya, ketakutan keberanian, kebahagiaan dan tidak bahagia, dan seterusnya (endorphin, serotonin,  adrenalin, dopamin, dst).
  3. Pikiran-intelektualitas-kecerdasan-keputusan yang diajukan sebagai pemaknaan pada yang mampu menelaah menganalisa setiap keterjadian agar dapat dimaknai dengan nilai baik buruk, benar salah, mempersepsikan sesuatu berdasarkan kadar atau nilai-nilai yang vertikal dan pada akhirnya menjadi sebuah kendali atas panca inderawinya untuk memberikan tanggapan atau pernyataan tentang sesuatu itu.
  4. Yang terakhir adalah penginderaan yang berhubungan dengan pemaknaan pada penilaian atas hubungan jiwa terhadap luarnya serta persepsi yang ditangkap oleh itu yang menuju pada keberdayaan jiwanya untuk menafsirkan apa-apa yang berada di luar jiwa itu sendiri. Pengindraan bisa menjadi sebuah ke antaraan pada ego serta super ego, yang dimana super ego adalah sebuah konsep tentang yang berada di luar tanpa memisahkan antara apa-apa yang dimaknai oleh jiwa itu sendiri dalam tafsirnya, sedangkan ego adalah bagaimana sebuah jiwa itu memaknai tentang ke antaraan tersebut. Sebagai contoh: lingkungan yang dingin adalah super ego dengan pemaknaan bahwa ego itu adalah belum merasakan kedinginan. Maka keantaraan itu adalah apakah dingin itu menjadi terlalu dingin atau dingin yang tidak seberapa dan ego sendiri memaknai itu sesuai dengan kadar masing-masing yang secara perspepsi tiap-tiap orang akan berbeda juga.

Kemudian tentu saja hal itu akan dimaknai sebagai sesuatu yang bermakna, ketika bahwa itu menjadi bagian dari keberadaan manusia sendiri memaknai kehidupan dan perjalanan hidupnya. Pada bagian-bagian yang dimaknai secara baik adalah saat di mana manusia akan bisa memiliki kebermaknaan menghargai kehidupan itu sendiri sebagai manusia yang mengunsurkan dirinya sebagai bagian dunia. Sebagai bagian lingkungan yang kecil dan membesar menjadi keluarga, menjadi kemudian lingkungan masa remaja, masa bercengkerama, berkeluarga, serta menafkahi, dan juga bermanfaat, serta masa tua yang akhirnya mati.

Hal ini sepertinya akan menjadi bagian yang cenderung berpengaruh besar nantinya pada kepribadian dan daya tau manusia akan keberadaan dia akan jiwanya itu sendiri. Pada dasarnya suatu konsep keadaan budaya membentuk perbedaan pola persepsi pikir dan tafsir mereka dalam mendalami pola konsep kejiwaan ia sendiri. Sebagaimana juga pembudayaan yang berbeda yang memasuki pada suatu kebudayaan yang ada, akan memberikan suatu pemetaan-pemetaan baru akan kejiwaan dari unsur-unsur jiwa itu sendiri. Karena pada dasarnya konsep super ego akan memberikan pengaruh besar dari sudut budaya asal muasal itu yang tidak serta merta dapat diaplikasikan di budaya yang berbeda juga pada prinsip-prinsip yang mengakar.

Namun perlu disadari juga bahwa konsep arketipe yang ditawarkan oleh Eliiade dan juga tingkat sakralitas profanitas durkheim, akan suatu “kesamaan” yang tersamarkan dan juga selalu berkembang, dan namun tetap masuk sebagai intuitas jiwa itu sendiri, akan membawa pada sebuah tolak ukur yang hampir sejatinya pasti menggambarkan keterdalaman jiwa yang nyaris adalah sebuah “kesamaan”. Akan tetapi pada akhirnya itu akan menjadi bias ketika ego dalam penerimaan atas “keantaraan” itu, menjadi hal yang terpaksa bergantung pada super ego itu sendiri. Tentu super-ego adalah suatu yang dimaknasi dalam kebudayaan juga, namun arketipe-arketipe yang muncul sebagai bagian-bagian yang tidak terpisahkan akan keberjalanan manusia secara sejarah awal, akan menuju pada keberselarasan saja.

Tetapi perlu disadari bahwa super-ego sendiri pada dasarnya memiliki beberapa kegenapan yang tergiatkan pada bagaimana arketipe-arketipe itu tetap mengada. Simbolis-simbolis yang dimaknai dahulu sebagai sesuatu yang “melahirkan” dan memberi “lahir”. Arketipe ini sepertinya adalah bagian-bagian yang menjadikan budaya itu sebagai sebuah keberwajahan atas penyatuan “itu” sendiri yang akan terbawa ke mana dia akan mempersepsikan dirinya sebagai manusia.

Hal itu belum menjadikan sebuah jawaban yang sangat memuaskan, dimana pada dasarnya sebuah adaptasi manusia terhadap keadaan super-ego itu sendiri, membuat manusia berevolusi secara jiwa dan juga menuju pada fisiknya, yang sekiranya tidak serta merta menjadi kebenaran. Karena sains sendiri berasal pada sebuah produk intuitif yang tersebar kepada mereka yang menemukan itu juga. Seperti misalkan keintuitifan buah apel yang menjadikan “kesamaan’ keterjadian antara yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana halnya apel pada sebuah konsep kereligian dan konsep sains. Itu adalah hal yang sedikitnya tidak detail dan akan ditertawakan, namun pada dasarnya kemaknaan atau konsep psikoanalisa adalah memperlihatkan sebuah kebiasaan yang ada dan menjadikan itu sebagai pemaknaan tentan psikis manusia di luarannya.

Pada sebuah budaya yang mengakar sekaligus juga situasi religio yang berkembang di tempat itu, maka sangat perlu untuk memberi keberhatian pada konsep-konsep yang telah terpolakan secara genetik dan juga terbudayakan sebagai akarnya, dan pada akhirnya memberikan sudut pandang yang berkembang pada manusia yang telah lama ada di wilayah itu. Karena dalam kebudayaan itu sendiri akan memberikan sebuah pembawaan sebenarnya yang seharusnya ia dan lingkungannya terima dalam memberikan pemberdayaan psikologi bagi sesiapa yang telah hidup pada budaya religio itu.

Sebagai contoh konsep moral keberyakinan yang berada pada “keantaraan” yang akan berbeda di setiap budaya yang ada. Pada dasarnya dari arketipe “melahirkan” dan “yang memberi lahir” akan memberikan sebuah konsep tentang nilai penilaian moral secara adanya. Nilai moral disuatu tempat akan memberikan jawaban untuk bagaimana etika yang sesuai pada penafsiran pola-pola psikologis yang ada. Ada tiga yang bisa ditelaah menjadi bagian penilaian kemoralan, konsep “terang-mulai, aktif-proses, gelap-diam”.

  1. Yang dimaknai secara super ego adalah konsep yang memetakan baiknya menjadi manusia dalam keberpikiran yang termanifestasikan menjadi ia sehari-hari, tentunya disesuaikan dengan lingkungan kecilnya yang menjadi super ego kecilnya.
  2. Yang dimaknai adalah keberaktifan manusia sebagai mahluk sosial yang mengembangkan dirinya sebagai yang mengaktualitaskan diri, atau sebagai juga yang mencari kenyamanan, kebutuhan sehari dan juga makanan (maslow) apakah akan memberikan ia sebuah pola-pola keberpikiran dan berprilaku secara sehat.
  3. Yang dimaknai sebagai pola-pola pada yang tidak layak dijabarkan sebagai kebermanusiaan itu sendiri, dan mempengaruhi persepsi jiwa di dia itu. Tentunya hal ini merupakan bagian yang dianggap sebagai kelainan pada kejiwaan itu sendiri. Ini adalah hal-hal yang tak sesuai pada pengembangannya sebagai manusia. Pada ini lah sebuah konsep jiwa yang perlu dianalisa untuk mencari mengapa manusia kehilangan etika dan ketidaksesuaian ia memanifestasikan dirinya keluar pada wilayah super ego.

Hal di atas akan menjadikan pedoman untuk membenahi apa-apa yang menjadi gambaran pemetaan jiwa itu sendiri di keempat mana sebelumnya tentan jiwa itu. Tentunya perlu penganalisaan lebih lanjut.

 

Sekedar gwar..2017

Freud psikoanalisa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.